Kamis, 31 Maret 2016

Ringkasan Disertasi: "Konfigurasi Politik Pemerintahan Daerah dan Keberpihakan Peraturan Daerah Pada Masyarakat Marjinal (Studi Terhadap Pengaturan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Kalimantan Barat)"


Oleh: Rahmad Satria
A. Latar Belakang
        Rekam jejak sejarah mencatat, semenjak tahun 1945 hingga tahun 2015, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah di Indonesia dalam praktiknya tidak selalu sejalan dengan prinsip demokrasi. Pembabakan konfigurasi politik yang terpetakan sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, ada kalanya menunjukkan karakter yang demokratis dan ada pula sebaliknya.
          Pada periode 1945-1959. Menurut Mahfud MD (1999:277), secara umum konfigurasi politik dalam Pemerintahan Daerah pada masa ini tergolong demokratis. Kurun waktu berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, UU No. 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Ciri demokrasi paling menonjol yang diperlihatkan dalam praktek pemerintahan ketika itu adalah demokrasi liberal.
         Periode akhir 1959-1965. Melalui Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah, struktur pemerintahan daerah digeser menjadi sangat sentralistik melalui mekanisme pengendalian pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang sangat ketat. Secara praktis DPRD yang biasanya dianggap sebagai representasi dari perwujudan otonomi daerah, tidak diberi kewenangan dan atau peran apapun. Kedudukan DPRD yang demikian terus berlangsung pula selama masa berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang materinya sama dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959.
            Periode 1966-1999. Selepas masa berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1965, di bawah Orde Baru telah lahir UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Mahfud MD (1999:280) menggolongkan Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang ini tidak demokratis. Konfigurasi politik tergolong otoriter. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah terlihat pada ketentuan yang memberikan kekuasaan pada Pemerintah pusat untuk menentukan Kepala Daerah tanpa terikat pada peringkat hasil pemilihan di DPRD. Di samping sebagai organ Daerah Otonom, Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat dengan sebutan Kepala Wilayah. Kedudukan DPRD kala itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Pemerintah Daerah. Periode 1999-Sekarang. Memasuki era reformasi yang ditandai oleh jatuhnya rezim otoritarian Orde Baru dan kemudian diikuti dengan amandemen UUD NRI 1945 hingga empat tahapan. Kebebasan pers dan parlemen yang kuat pada masa ini menjanjikan tata kelola pemerintahan melalui prinsip good governance serta besarnya peluang bagi seluruh rakyat untuk berperan secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara.
          Deskripsi tata kelola Pemerintahan Daerah pasca reformasi, khusus pada masa berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditandai oleh konfigurasi politik yang demokratis meski dalam praktiknya pernah terjebak pada konfigurasi politik yang oligarkis dan pada akhirnya kembali memperlihatkan konfigurasi politik yang demokratis. Kembalinya konfigurasi politik yang demokratis dari konfigurasi politik yang oligarkis, ditandai oleh oleh lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian diubah kembali beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
        Meminjam kategorisasi dari Mahfud MD (2009:107), secara umum konfigurasi politik pemerintahan daerah di era reformasi dewasa ini tergolong konfigurasi politik yang demokratis, dicirikan dengan karakter produk hukum yang tergolong responsif. Tesis Mahfud MD tersebut menegaskan adanya korelasi yang bersifat mutlak antara konfigurasi politik (demokratis atau sebaliknya tidak demokratis), dengan karakter produk hukumnya. Atas tesis tersebut dapat dibangun proposisi bahwa konfigurasi politik pemerintahan daerah dewasa ini tergolong demokratis, karena itu peraturan daerah tergolong responsif terhadap problematika masyarakat daerah. Namun faktanya di Kalimantan Barat konfigurasi politik pemerintahan daerah yang demokratis tersebut, tidak serta merta melahirkan peraturan daerah yang responsif dan berpihak kepada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Dalam kasus pengaturan hak-hak ekosob, tidak semua daerah yang meresponnya dengan melakukan pengaturan melalui peraturan daerah. Secara eksplisit tampak dari fakta-fakta sebagai berikut:
a. Fakta Hukum
Secara spesifik masih sedikit atau belum memadainya peraturan daerah yang dibuat untuk memenuhi hak-hak ekosob. Kondisi ini ditambah lagi dengan kemauan politik (political will) untuk menyelenggarakan hak-hak ekosob yang tidak selalu paralel dengan lahirnya peraturan daerah atau hukum positif (in abstracto) akibat kompleksnya interaksi politik di daerah.
b. Fakta Fisik/Empirik
Secara makro Provinsi Kalimantan Barat tergolong provinsi dengan jumlah masyarakat marjinal (komunitas adat terpencil & masyarakat miskin) tertinggi di pulau Kalimantan. Dari aspek kuantitatif penduduk miskinnya mencapai 8,07%. Masyarakat marjinal di pedesaan mencapai 9,20%, sedangkan di perkotaan mencapai 5,47%. Berdasarkan peringkat IPM-nya terendah di wilayah pulau Kalimantan. Di sisi lain, implikasi fakta kemiskinan dan rendahnya IPM bekorelasi terhadap maraknya konflik tata kelola SDA. Walhi Kalimantan Barat dan Perwakilan Komnas HAM merilis dalam 1 (satu) dekade terakhir sedikitnya telah terjadi 88 (delapan puluh delapan) kasus terkait perebutan lahan dengan investor skala besar dan disusul pula kasus-kasus lain terkait pelanggaran terhadap hak atas lingkungan serta akses kehidupan yang layak.
c. Fakta Sosial
Terjadi simplifikasi kewajiban pemerintahan daerah menjadi sekedar tanggung jawab. Akibatnya dalam tataran praksis, hak-hak ekosob masyarakat marjinal belum/tidak dipahami sebagai rangkaian hak yang utuh (hak ekonomi determinan bagi hak sosial, hak sosial determinan bagi hak budaya). Bahkan masih sering terjadi tolak-tarik antara pemerintah pusat dengan Pemda soal kewenangan menyelenggarakan hak-hak ekosob.
Praktiknya, proses pembuatan peraturan daerah tidak selalu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Upaya menjaring pendapat masyarakat umum dalam rangka pembuatan suatu peraturan daerah yang populer disebut public hearing dilakukan tidak lebih dari sekedar prasyarat formal tanpa makna substantif. Problematika krusial lainnya, karena kelompok masyarakat marjinal tidak memiliki akses kepada pusat kekuasaan yang menyusun dan memutuskan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kehidupan kelompok-kelompok marjinal sangat tergantung pada kelompok-kelompok kepentingan yang berada di luarnya, yang sejatinya memiliki kepentingan sendiri, dan pada umumnya berbeda serta tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan kelompok marjinal. Dampak negatifnya, pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal menjadi tak terhindarkan.
Kondisi yang demikian bukan saja merupakan suatu praktik yang bertentangan dengan perintah konstitusi yang menempatkan negara, dalam hal ini juga turut direpresentasikan oleh pemerintahan daerah sebagai institusi yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga tindakan pengabaian terhadap International Covenant on Economic, Social And Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, melalui UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Sejumlah fakta di atas telah melatarbelakangi studi disertasi ini sekaligus menjadi alasan pemilihan judul: KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN KEBERPIHAKAN PERATURAN DAERAH PADA MASYARAKAT MARJINAL (Studi Terhadap Pengaturan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Kalimantan Barat).
B. Fokus Studi dan Permasalahan
Studi ini difokuskan pada fakta ketidakberpihakan peraturan daerah pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Fokus studi dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi, mendeskripsi dan memahami kondisi konfigurasi politik pemerintahan daerah di satu pihak dengan pengaturan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Terkait hal tersebut, maka urgensi penekanan kepada aspek interaksi politik dengan lahirnya peraturan daerah bagi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan fokus studi yang spesifik dalam penelitian ini. Oleh karena itu, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1.   Mengapa konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang tergolong demokratis dewasa ini tidak/belum mampu menghasilkan peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat marjinal?
2.   Bagaimanakah model ideal membangun Peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang paralel dengan permasalahan masyarakat marjinal di Kalimantan Barat?
C. Kerangka Pemikiran
Secara skematis kerangka pemikiran disertasi Konfigurasi Politik Pemerintahan Daerah dan Keberpihakan Peraturan Daerah pada Masyarakat Marjinal (Studi Terhadap Pengaturan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Kalimantan Barat), tampak pada ragaan di bawah ini:

Pemenuhan hak-hak ekosob merupakan suatu keniscayaan adanya peran dari negara di dalam segala proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran negara tersebut bukanlah untuk negara, namun diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakatnya, termasuk dalam konteks ini adalah kelompok masyarakat  marjinal. Relasi kemasyarakatan yang seimbang berbasis pada ketuhanan, kemanusian, nasionalis, demokratis dan keadilan sosial mutlak diperlukan. Nilai keseimbangan tersebut tercermin dalam Pancasila, yang kesemuannya tidak terpisahkan, bersifat kumulatif dan komplementer sehingga harus berjalan secara integral dan sistemik serta seimbang.
Studi ini menggunakan konsepsi teori pembangunan berbasis hak asasi manusia (pembangunan berbasis HAM) yang parallel dengan cita hukum Pancasila sebagai kaidah evaluasi. Inti dari pembangunan berbasis HAM adalah bahwa nilai-nilai dan standar universal HAM harus mendasari pembangunan, baik proses maupun hasilnya. Pembangunan berbasis HAM merupakan inovasi yang dibangun melalui proses sejarah yang panjang dan terkait upaya untuk menciptakan praktik yang sepenuhnya menggabungkan bidang HAM dan pembangunan. Kerangka kerjanya dilakukan dengan mengintegrasikan norma, standar, dan prinsip HAM ke dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi bukan yang terutama, tetapi perbaikan pada semua aspek seperti kesehatan, lingkungan, perumahan, pendidikan, distribusi sumber daya, peningkatan kemampuan dan pilihan masyarakat.
Pada tingkat metodologis strategi pembangunan berbasis HAM antara lain menekankan pada proses meningkatkan pemberdayaan kelompok masyarakat marjinal. Dikarenakan kata kuncinya adalah ‘pemberdayaan’ maka partisipasi kelompok rentan, kesetaraan dan perlakuan yang non-diskriminasi serta akuntabilitas merupakan prasyarat pembangunan berbasis HAM. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat marjinal, teori pembangunan berbasis HAM mengajukan setidaknya 7 (tujuh) prinsip yang menjadi semacam kaidah pendekatan dan evaluasi apakah suatu proses pembangunan telah berbasis HAM atau justru sebaliknya, yaitu: (1) Rule of Law (RoL); (2) Universal dan tidak dapat dicabut (universalism and inealienability); (3) Keutuhan dan kesaling-tergantungan (indivisability and interdependence); (4) Non-diskriminasi dan kesetaraan (non-discrimination and equality); (5) Partisipasi (participation); (6) Pemberdayaan (empowerment); (7) Akuntabilitas dan transparansi (accountability and transparency).
Di samping konsepsi teori pembangunan berbasis hak asasi manusia, studi ini juga menggunakan kerangka pikir responsive law dari Nonet dan Selznick sebagai kerangka ideal pembangunan peraturan daerah. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan substansial dan emansipasi publik. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
Analisis Nonet dan Selznick, sebetulnya ingin mengkritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di dalam sistem aturan hukum positif—model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua "doktrin" utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.
Menurut Adji Samekto (2012:112), diskursus tentang responsive law dari Nonet dan Selznick sesungguhnya sangat dekat dengan ide (gagasan) hukum progresif yang ditawarkan Satjipto Rahardjo. Dalam konteks hukum progresif ini memang kita diajak berpikir out of the box dari cara berpikir autonomous law. Berpikir out of the box di sini dimaksud agar kita tidak terbatasi oleh cara berpikir dalam sistem hukum modern saja “yang merefleksikan autonomous law” dan menganggap cara berpikir itu adalah yang paling benar, karena terbukti autonomous law dalam praktek sistem hukum modern hanya mampu mewujudkan formal justice. Makna yang terkandung dalam hukum progresif ini bisa menjelaskan makna tipologi responsive law. Gagasan hukum progresif bisa digunakan untuk semakin menjelaskan hakikat responsive law dari Nonet dan Selznick, karena keduanya bertujuan menegakkan keadilan yang bersifat substansif. Hukum progresif berangkat dari kebuntuan karena hukum (yang dikatakan bersifat otonom) tidak mampu memberi manfaat untuk mewujudkan keadilan substansial.
Studi ini dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan munculnya tipe yang emansipatif yang tampak terlewatkan dari perhatian penstudi hukum yang beranjak dari kerangka Nonet & Selznick. Untuk itu, tipe emansipatif yang hendak diwujudkan dalam peraturan daerah yang partsipatif dan berprespektif HAM, khususnya hak ekosob bagi masyarakat marjinal dapat dipergunakan metode RIA (Regulatory Impact Assesement), ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process and Ideology) dan ditambah RHR (Respect to Human Rights) (2007:17), yang tidak boleh dilepas-pisahkan dengan pembangunan berbasis HAM.
D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
Studi ini secara spesifik bertujuan: (1) Mengevaluasi dan mendeskripsi serta memberikan pemahaman terhadap interaksi poltik dengan lahirnya peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat marjinal; (2) Mengajukan model ideal membangun peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal di Kalimantan Barat yang paralel dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi.
Sebagaimana layaknya sebuah karya tulis pada umumnya, penelitian ini diharapkan membawa manfaat keilmuan dan sekaligus juga manfaat pragmatis, yaitu: (1) dapat memperkaya kajian teoretik terkait ilmu peraturan perundang-undangan dan juga hukum otonomi daerah. Pada gilirannya, hasil studi ini akan dapat menyumbangkan informasi ilmiah yang konseptual mengenai sosok, dinamika, dan implikasi dari peraturan daerah serta formulasinya terhadap upaya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; (2) menghasilkan resep perumusan kebijakan yang bersifat praktis, bagi pemerintah daerah, DPRD, perancang peraturan daerah, penstudi hukum, maupun masyarakat sesuai kepentingannya.
E. Proses Penelitian
Cara kerja dalam penelitian ini mengikuti tata aturan penelitian kualitatif (qualitative research), yang melihat suatu realitas dalam konteksnya, bersifat deskriptif, serta penafsirannya terikat pada ruang dan waktu. Paradigma penelitian ini adalah konstruktivisme, yang dicirikan oleh tujuan utama untuk memahami sebuah realitas (dalam hal ini realitas peraturan daerah dalam korelasinya dengan dinamika konfigurasi politik pemerintahan daerah). Melalui paradigma konstruktivisme, peraturan daerah dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial, atau produk dari fakta, bahkan struktur sosial yang eksis dalam suatu kurun waktu tertentu.
Strategi penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi kasus. Studi kepustakaan dilakukan terhadap semua dokumen ataupun literatur tentang konfigurasi politik, peraturan daerah dan literatur terkait. Sebaliknya perihal studi kasus, adalah mempelajari secara mendalam kasus-kasus pelanggaran dan pemenuhan hak-hak ekosob di Provinsi Kalimantan Barat. Kasus-kasus yang ada diklasifikasikan sesuai dengan kategorisasi hak-hak ekosob yang dilanggar dan dianalisis sesuai kebutuhan penelitian.
Jenis data utama penelitian ini adalah data kualitatif berupa material empiris, yaitu dokumen resmi (peraturan perundangan-undangan, risalah dan draf akademik pembuatan peraturan perundang-undangan tentang Peraturan Daerah Kalimantan Barat), program ataupun kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi tata laksana hak ekosob, dan terbitan resmi lainnya seperti: jurnal, buku, majalah, ensiklopedi cuplikan, kutipan, dan data statistik dari lembaga terkait. Pengumpulan data dilakukan sesuai prinsip snow balling, dimulai dari suatu titik, satu jenis data dan lalu menyebar. Data dikumpulkan sebanyak mungkin kemudian dikelompokkan dan dipilah-pilah. Data yang tergolong cukup dan memadai untuk menjawab permasalahan penelitian lalu didiskusikan dalam kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD), sebagai langkah akhir sebelum data benar-benar dapat dikategorikan sebagai data final.
Validasi data dilakukan sesuai prinsip synchronic reliability (kesesuaian dengan realitas), merupakan prinsip yang dipegang teguh dalam rangka konsistensi dan mutu data yang dikumpulkan. Selain itu pengecekan mutu melalui metode triangulasi juga dilakukan. Data yang dikumpulkan melalui studi dokumen dicek kembali konsistensi dan mutunya melalui Focus Group Discussion. Selanjutnya perihal analisis data, studi ini mengikuti model analisis interaktif Miles dan Huberman.
F. Pokok-Pokok Hasil Penelitian.
1.   Peta Teoretik dan Konsepsi Konfigurasi Politik, Peraturan Daerah Dan Masyarakat Marjinal.
Secara etimologis konfigurasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris ‘configuration’ yang lebih kurang bermakna sebagai: ...bentuk atau susunan atau pun wujud untuk menggambar suatu benda (John dan Hassan Shadily, 1994). Dalam rangkaian kata ‘konfigurasi politik’ tafsir semantik kata konfigurasi tersebut menurut Suparman Marzuki (2014:85) adalah: ....susunan atau tata letak atau konstelasi kehidupan politik yang terdapat pada suatu masa, yang menggambarkan keadaan politik pada masa tersebut. Sementara Mahfud MD (2009:30) mengartikan konfigurasi politik sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik. Susunan atau konstelasi kekuatan politik dimaksud secara dikotomis dibagi atas 2 (dua) konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Dalam rangkaian kata ‘konfigurasi politik pemerintahan daerah’ sebagaimana tema pokok studi ini, maka yang dimaksudkan atau yang menjadi fokus analisisnya adalah konstelasi politik yang demokratis dalam tata kelola pemerintahan daerah, khususnya dalam proses legislasi daerah.
Dinamika konfigurasi politik tertentu yang berlaku dalam suatu negara akan berpengaruh pada sifat atau karekter politik hukum dan produk hukum dari negara tersebut, sehingga perubahan konfigurasi politik akan memengaruhi politik hukum dan produk hukumnya. Berkaitan dengan produk hukum berupa peraturan daerah, maka dalam hal ini terminologi peraturan daerah, sesuai UUD NRI 1945 hasil amandemen menegaskan bahwa dengan diberikannya otonomi seluas-luasnya kepada daerah, maka daerah dapat menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya. Dengan demikian secara kategorial, peraturan daerah dan peraturan dalam bentuk lainnya merupakan bagian dari produk hukum daerah.
Bagir Manan (1992:13) bahkan “menganalogikan” Peraturan Daerah semacam Undang-Undang, untuk beberapa alasan: Pertama, ditinjau dari aspek organ pembentukannya, peraturan daerah dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dua organ daerah inilah yang disebut pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Oleh sebab itu secara prinsipil, peraturan daerah itu dibentuk oleh organ daerah yang diberi kewenangan atribusi oleh UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kedua, dari aspek substansinya, peraturan daerah itu dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur dan mengurus kewenangan-kewenangan otonomi dan tugas pembantuan. Dalam rangka tugas pembantuan yang merupakan manifestasi dari prinsip pemencaran kekuasaan, suatu daerah berwenang membuat aturan hukum seperti Peraturan Kepala Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah dengan ketentuan tidak boleh melanggar norma hukum yang terdapat di dalam Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagai salah satu bentuk produk hukum daerah pada hakikatnya merupakan standar aturan main untuk menerapkan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Juanda (2008:120), menegaskan dalam arti ketatanegaraan, desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara
Selanjutnya berkaitan dengan masyarakat marjinal, secara etimologis kata marjinal berasal dari bahasa inggris marginal, yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Dalam rangkaian kata ‘masyarakat marjinal’, kata marjinal menujuk pada suatu kelompok masyarakat yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Masyarakat marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan (LBH-Jakarta, 2007:7). Todung Mulya Lubis (1986:43) mengartikan marjinalisasi sebagai sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marjinal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan oleh kebijakan publik sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.
Dalam ilmu sosiologi, masyarakat marjinal dikenal dengan istilah ‘liyan’ atau the other (dalam bahasa Jerman das fremde atau das andere) yang berarti “asing” atau “yang lain”. Liyan atau kaum-kaum marjinal atau auβenseiter adalah objek yang bertentangan dengan subjek atau diri, yaitu pihak atau objek yang berada di luar subjek, sebagai pembanding bagi subjek tersebut. Misalnya dalam studi gender, perempuan dapat disebut liyan bagi laki-laki dan sebaliknya. Dalam masalah hukum kenegaraan, liyan adalah orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan negara.
Secara faktual, yang dimaksud dengan masyarakat marjinal sebetulnya hampir sama dengan masyarakat miskin. Akan tetapi, lebih dari sekedar fenomena ekonomi, esensi masyarakat marjinal adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya. Di kota besar, golongan masyarakat yang mengalami marjinalisasi umumnya adalah kaum migran, pedagang kaki lima, anak jalanan, penghuni pemukiman kumuh dan pedagang asongan yang umumnya tidak terpelajar dan tidak terampil. Golongan masyarakat marjinal ini meliputi pula para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah.
Dalam konteks masyarakat marjinal tersebut, pemenuhan dan penegakan hak-hak ekosob menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2007:12) tidak bisa dilaksanakan dengan paradigma netral. Untuk merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang asasi, hukum tidaklah harus berparadigma netral, melainkan harus memihak. Hukum harus memihak kepada kepentingan pihak yang miskin, yang termarjinalisasi dan yang belum diuntungkan. Inilah yang dimaksudkan dengan hukum yang berkarakter populis dan jauh dari kecenderungan-kecenderungannya yang tak pantas ke arah karakternya yang terlalu elitis. Hukum yang terlalu elitis malah cenderung mengundang ketidakpuasan pihak yang berposisi rawan dan merasa diperlakukan tak adil dan dipermiskin, yang akhirnya hanya mengundang protes-protes dan demonstrasi massa yang rusuh dan pula tak produktif.
2.       Profil Daerah, Potret Konfigurasi Politik dan Fakta Ketidakberpihakan Peraturan Daerah Pada Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Marjinal.
a.       Profil Daerah
Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2o08 LU serta 3005 LS serta di antara 108o0 BT dan 114o10 BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini maka, Provinsi Kalimantan Barat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0o) tepatnya di atas Kota Pontianak. merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua ((421.891 km2), Kalimantan Timur (202.440 km2) dan Kalimantan Tengah (152.600 km2). Berbatasan langsung dengan Malaysia Timur serta memiliki akses jalan darat menuju wilayah Malaysia Timur dan Negara Brunai Darusalam.
Secara administrasi pemerintahan saat ini, Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 14 (empat belas) kabupaten/kota, yaitu: dua belas kabupaten dan dua kota. Empat belas kabupaten/kota ini terbagi dalam 176 kecamatan yang seluruhnya terbagi lagi menjadi 1.967 desa/kelurahan.
Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan data statistik 2013 berjumlah 4.641.393 dengan kategori jenis kelamin adalah: pria berjumlah 2.366.292 dan wanita berjumlah 2.275.101. Sebagian besar beragama Islam (52,20 %). Agama lainnya: Katolik (19,00 %), Protestan (9.00 %), Budha (2,70 %), Hindu (0,10 %) dan lain-lain (15,00 %). Umumnya bermata pencaharian sebagai petani (sebagain besar), nelayan, pedagang, pegawai dan karyawan di sektor swasta.
Provinsi Kalimantan Barat juga dikenal sebagai miniatur etnik Indonesia. Hampir seluruh etnik yang ada di Indonesia terdapat di Provinsi Kalimantan Barat, dengan mayoritas etnik adalah Dayak, Melayu, Jawa dan etnik yang lainnya: Banjar, Bugis, Madura, Sunda, Minang, Batak, Manado, Bali, Ambon, Papua, serta penduduk Indonesia yang berasal dari keturunan Arab, India dan Cina. Penduduk asli Kalimantan Barat itu sendiri, berasal dari etnik Melayu dan Dayak. Interaksi antar etnik di Kalimantan Barat tidak selamanya berjalan damai. Beberapa kali terjadi konflik etnik dalam skala luas dan masif, yang memakan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit—ribuan nyawa melayang dan tidak terhitung materi-properti musnah.
b.      Sekilas Potret Konfigurasi Politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat.
Konfigurasi politik pemerintahan daerah di Provinsi Kalimantan Barat pada 5 (lima) tahun terakhir (dari tahun 2009 sampai dengan 2014) tergolong demokratis. Tampak dari proses pemilihan langsung baik pemilihan anggota legislatif (Pemilihan anggota DPRD 2009) maupun pemilihan kepala daerah (Pemilihan Gubernur 2007 dan 2012), yang diikuti melalui partisipasi aktif pemilih dan tingkat persaingan politik yang kondusif.
Konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang tergolong demokratis tersebut  tersimpul dalam 2 (dua) hal. Pertama, seiring semangat reformasi, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat juga memasuki era baru pula. Aktor, institusi dan budaya lokal bermunculan kembali dan mulai memainkan peran di dalam politik lokal. Aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Kedua, keunikan konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat jika dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya karena Provinsi Kalimantan Barat secara kontekstual menganut konsesi politik antar etnis atau paham politik identitas etnis. Politik etnis di Kalimantan Barat telah menjadi hal yang biasa dan bahkan merupakan alat kontrol terjadinya konflik dan kekerasan antar etnis.
Karakteristik dan cermin konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang demokratis juga tampak dari indeks demokrasi di Provinsi Kalimantan Barat 2014 sebesar 80,58. Angka ini naik 13,06 poin dibandingkan dengan indeks demokrasi Provinsi Kalimantan Barat 2013 sebesar 67,52. Dengan peningkatan ini maka tingkat demokrasi Kalimantan Barat berada pada kategori baik (lihat diagram di bawah).


  Perkembangan indeks demokrasi Provinsi Kalimantan Barat dari 2009 hingga 2014 mengalami fluktuasi (tahun 2009 sebesar 72,38; tahun 2010 sebesar 69,32; tahun 2011 sebesar 74,86; tahun 2012 sebesar 65,38; tahun 2013 sebesar 67,52 dan tahun 2014 sebesar 80,58). Fluktuatifnya angka indeks demokrasi adalah cermin dinamika situasi demokrasi di Kalimantan Barat. Indeks demokrasi Kalimantan Barat sejak tahun 2009 hingga 2014 secara perlahan-lahan bergerak berada pada kategori baik.
Secara lebih rinci, pada 2014 distribusi indeks dalam ketiga aspek demokrasi yang diukur mengalami peningkatan dari tahun 2013. Aspek kebebasan sipil mengalami peningkatan sebesar 0,90 poin, aspek hak-hak politik mengalami peningkatan sebesar 13,76 poin dan indeks dari aspek lembaga demokratis mengalami peningkatan sebesar 27,23 poin. Walaupun terjadi peningkatan indeks, pola sebaran nilai di atas masih sama dengan tahun pengukuran sebelumnya, yaitu kebebasan sipil secara umum terkategori “baik” dan aspek hak-hak politik yang semula terkategori “buruk”, namun pada tahun 2014 masuk kategori “sedang”. Sementara lembaga demokratis tahun 2013 terkategori “sedang” berubah menjadi terkategori “baik” pada tahun 2014. Salah satu indikator dalam aspek hak-hak politik adalah persentase anggota perempuan terhadap total anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dari data indeks demokrasi 2014 diperoleh informasi bahwa persentase anggota perempuan terhadap total anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang masih rendah, di samping itu masih adanya kecenderungan penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti merusak, memblokir, membakar dan melakukan penyegelan terhadap kantor-kantor pemerintah.
Variabel pada indeks demokrasi 2014 terdapat sembilan variabel yang mengalami peningkatan indeks dari tahun 2013 dan tiga variabel yang tidak mengalami perubahan indeks atau relatif sama. Dari sembilan variabel yang mengalami kenaikan, tiga di antaranya meningkat cukup berarti. Kenaikan terbesar pada indeks variabel peran partai politik juga mengalami kenaikan cukup besar yakni sebesar 78,22 poin dari 8,92 tahun 2013 menjadi 87,14 tahun 2014. Indeks variabel lain yang meningkat cukup berarti di antaranya variabel-variabel peran peradilan independen juga mengalami kenaikan sebesar 50,00 poin dari 50,00 tahun 2013 menjadi 100,00 tahun 2014, kemudian variabel hak memilih dan dipilih (naik 27,48 poin dari 48,79 pada 2013 menjadi 76,27 pada 2014, lihat ragaan di bawah).
Ciri berkembangnya kehidupan demokratis di Kalimantan Barat juga nampak dalam dua kali proses pemilihan umum yang dilaksanakan mulai dari tahun 2009 hingga tahun 2014 baik pemilihan umum legislatif (DPRD) maupun pemilihan kepala daerah (Gubernur). Secara umum, indikator yang dapat digunakan untuk menilai suatu ciri konfigurasi politik dapat digambarkan sebagai berikut:

Prosedur Hukum
Hasil Pemilihan
Ciri Konfigurasi Politik
Predictable
Predictable
Totaliter
Unpredictable
Predictable
Otoriter
Predictable
Unpredictable
Demokratis


Ketidakpastian dalam perolehan suara telah menandai suatu ciri berkembangnya kehidupan demokrasi dan karena itulah dapat dikatakan bahwa konfigurasi politik di dalamnya menunjukkan ciri yang demokratis. Sesuai dengan adagium mengenai jenis sistem politik yang berlaku berdasarkan prosedur hukum dan hasil sebuah pemilihan umum, bahwa sebuah sistem dikatakan totaliter manakala terdapat kondisi “predictable procedures and predictable results”, yakni bila di sebuah negara, prosedur hukum penyelenggaraan pemilihan umum sudah jelas ditentukan dan hasil pemilu sudah dapat diketahui sebelum diselenggarakan, maka sistem itu disebut totaliter. Sedangkan sebuah sistem dikategorikan otoriter jika terdapat kondisi “unpredictable procedures, but predictable results”, yakni negara (dalam hal ini pemerintahan daerah) dikatakan otoriter bila tidak memiliki prosedur yang jelas tentang pemilu, akan tetapi hasil-hasil pemilu sudah dapat diketahui jauh-jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan. Dan manakala di sebuah negara terdapat kondisi “predictable procedures, but unpredictable results”, di situlah lazim disebut demokrasi, bahwa sebuah penyelenggaraan negara dikatakan menganut system demokrasi bila tersedianya serangkaian pengaturan hukum pemilu yang jelas, namun hasil pemilu tidak dapat diketahui sejak awal. Melalui indikator tersebut, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat tergambarkan dengan ciri konfigurasi politik yang demokratis.

3.       Eksistensi Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia dan Problematika Peraturan Daerah.
Pembangunan berbasis HAM idealnya merupakan syarat yang terpenting bagi setiap program pembangunan. Dari aspek rekam jejaknya, ide pembangunan berbasis HAM juga lahirnya ragam inisiatif dan model pembangunan, mulai dari gagasan pembangunan yang berkelanjutan, perumusan tujuan pembangunan milenium dan lain sebagainya. Semua ide tersebut diintegrasikan dalam kebijakan dan diskursus tentang pembangunan.
Masuknya hak asasi manusia dalam dokumen perencanaan pembangunan mengikuti kecenderungan umum institusionalisasi hak asasi manusia pasca 1998 yang sangat didominasi oleh institusionalisasi yang bersifat legal formal. Gagasan institusionalisasi HAM ke dalam hukum positif diaplikasikan melalui adopsi berbagai instrumen hukum HAM internasional ke dalam ranah domestik melalui ratifikasi.
 Di level pemerintahan daerah, kesulitan dalam melakukan institusionalisasi HAM umumnya diakibatkan oleh masalah kewenangan kepala daerah yang keberadaannya, lebih menonjol sebagai alat pemerintah pusat dibanding sebagai alat pemerintah daerah. Sedangkan dalam konteks kinerja legislasi DPRD, secara umum tingkat kesesuaian dengan prinsip dan standar HAM masih jauh dari menggembirakan. Padahal di sisi lain, pada dasarnya persoalan tersebut dapat saja diatasi dengan memahami persoalan mendasar HAM khususnya menyangkut pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat di daerah merupakan urusan yang layak untuk mendapat perhatian lebih dan merupakan kebutuhan di daerah yang perlu untuk segera diwujudkan. Pada akhirnya, kondisi di tingkat daerah yang demikian terbilang masih perlu perbaikan secara mendalam. Sebagaimana temuan studi ini, cukup banyak faktor yang mengkondisikan ketidakberpihakan pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat marjinal, mulai dari problematika penegakan prinsip rule of law hingga tiadanya political will pemerintahan daerah.
Di Provinsi Kalimantan Barat, meskipun konfigurasi politik Pemerintahan Daerah-nya tergolong demokratis ternyata masih sulit dan masih banyak menemui hambatan dalam mewujudkan pembangunan berperspektif hak asasi manusia. Dalam tataran praksis senyatanya belum mampu melahirkan peraturan daerah yang berpihak (responsif) terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Temuan studi mengungkapkan dan menjelaskan, bebarapa faktor penyebabnya sebagai berikut:
a.   Tidak adanya kemauan politik—kalau tidak hendak dikatakan—telah melakukan pembiaran oleh karena pola penyerapan aspirasi pada masyarakat marjinal yang terkendala oleh beberapa hal. Pertama, penyerapan aspirasi lebih banyak dilakukan terhadap masyarakat mayoritas yang tidak termasuk kelompok rentan atau masyarakat marjinal, karena kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki akses kepada pusat kekuasaan yang menyusun dan memutuskan kebijakan. Kedua, sikap pragmatis legislator daerah yang lebih berorientasi pada masyarakat mayoritas atau kawasan padat penduduk, baik dalam hal penyerapan aspirasi maupun distribusi dana aspirasi. Agenda tersembunyinya, jelas karena kepedulian pada masyarakat mayoritas lebih menjanjikan bagi perolehan suara pada pemilihan umum berikutnya.
b.   Sifat peraturan daerah masih sporadis, sebatas respons untuk mengatasi permasalahan jangka pendek melalui peraturan daerah dan tidak dapat dikategorikan sebagai program pembangunan peraturan daerah yang sistemik. Belum atau tidak ada peraturan daerah yang diinstrumentasikan sebagai payung hukum pemberdayaan kelompok masyarakat marjinal. Peraturan daerah  masih sebatas diinstrumentasikan untuk memperbesar PAD, sedangkan soal distribusi sumberdaya pemenuhan hak-hak ekosob itu sendiri berjalan tanpa pengaturan. Agenda pemberdayaan masyarakat marjinal yang ditegaskan dalam RPJMD tidak diikuti dengan political will untuk segera merealisasikannya. Tidak ada kebijakan pro poor yang benar-benar dilandasi skema pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat marjinal.
c.   Masih banyak regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten antara yang satu dengan yang lain, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Selain itu, permasalahan yang menonjol terkait problematika regulasi adalah:
1)  Ketidakjelasan pemegang otoritas manajemen regulasi. Otoritas tunggal untuk mengelola regulasi seharusnya diberikan wewenang untuk menjaga kualitas regulasi di tingkat pusat maupun peraturan daerah, misalnya kepada Kementerian Hukum dan HAM dengan berdasarkan Pasal 23 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
2)  Pemahaman akan sistem regulasi nasional dan komunikasi regulasi antara pusat dan daerah dalam praktik penyelenggaraan negara selama ini berjalan tidak maksimal, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjebak pada ‘dunianya sendiri’ sehingga masing-masing bekerja dan bertanggung jawab pada ruang lingkupnya sendiri.
3)  Perubahan regulasi yang terlalu cepat di tingkat pusat mengakibatkan kesulitan tersendiri bagi pemerintahan daerah, terlebih apabila regulasi pusat tersebut dibentuk dengan kualitas yang memprihatinkan, dalam arti berpotensi konflik, inkonsisten, multi tafsir serta tidak operasional.
4)  Reformasi regulasi dalam arti kesadaran baru untuk mewujudkan regulasi yang sederhana dan tertib belum membudaya dan belum dimulai dengan tindakan yang benar-benar nyata meski telah mendapat dukungan yang luas dari para penyelenggara negara baik pada level pemerintahan pusat maupun daerah.
d.   Persepsi terhadap hak-hak ekonomi sosial dan budaya yang rendah.
1)  Sisi Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD), pemenuhan hak ekosob pada praktiknya belum dipahami secara baik meski Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005. Berbeda dengan hak sipil dan politik (sipol), hak ekosob masih ditempatkan pada status sekunder oleh kalangan pemerintahan daerah.
2)  Sisi Masyarakat, hampir tidak ada elemen masyarakat yang secara serius melakukan upaya sadar untuk turut memengaruhi kebijakan negara dalam kaitannya dengan pemajuan dan pemenuhan hak ekosob, terutama dalam lima aspeknya yang vital, yaitu: hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan pekerjaan. Kalaupun ada upaya-upaya pemantauan dan pengawasan itu pun belum bisa dikategorikan sebagai watchdog yang sebenarnya.
e.   Masalah pemerataan (equity) dan pemberdayaan (empowerment). Sesuai dengan arah pembangunan hukum daerah, bahwa pada aras substansi pembangunan peraturan daerah antara lainnya belum dilakukan melalui peningkatan kualitas materi peraturan daerah yang transparan/adil melalui kaji ulang dan pengawasan represif terhadap peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat marjinal. Pada aras struktur belum dilakukan peningkatan kapasitas legal drafting kepada aparatur pemerintahan berkaitan dengan pembuatan perda dan peran legislasi, sedangkan pada aras budaya hukum belum dilakukan melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam suatu proses legislasi yang berdimensi pembangunan berbasis HAM, khususnya hak-hak ekosob.

4. Diskursus Teoretik dan Model Ideal Peraturan Daerah.
Tesis Mahfud MD yang menyatakan, “konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif”, Penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan tesis tersebut, sebab ternyata tesis Mahfud MD hanya terbukti untuk bidang hukum tertentu saja, seperti hukum publik yang mengatur hubungan kekuasaan atau hukum-hukum yang mengatur politik dan kekuasaan. Dengan demikian, hukum yang berkarakter responsif tidak serta merta lahir ketika suatu konfigurasi politik tergolong demokratis. Produk hukum berupa peraturan daerah yang mengatur hak-hak ekosob yang kebanyakan merupakan pergulatan masyarakat marjinal, konfigurasi politik demokratis tidak menjanjikan bagi lahirnya peraturan daerah yang responsif terhadap hak-hak ekosob. Maka diperlukan model ideal membangun peraturan daerah yang responsif.
Peraturan daerah seyogianya berasaskan kemanfaatan umum. Bentham (1979:23) menulis bahwa ‘kebaikan publik’ hendaknya menjadi tujuan legislator. Hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Sesuai logika hukum responsif menurut Nonet dan Selznick, indikator peraturan daerah yang memiliki keberpihakan atau responsif terhadap hak-hak ekosob masyarakat marjinal adalah sebagaimana tampak pada tabel di bawah:
Karakter Peraturan Daerah Responsif
Karakter Peraturan Daerah Konservatif
1. Pembuatannya Partisipatif dan berbasis HAM
1.  Pembuatannya dominatif dan tidak berperspektif HAM
2. Muatannya aspiratif dan kontekstual
2.  Muatannya instrumental - tekstual
3. Isinya implementatif dan protektif
3.  Multitafsir dan pengabaian hak-hak ekosob
Model ideal membangun peraturan daerah yang mengakomodasi hak-hak ekosob masyarakat marjinal harus bersendikan pada paradigma pembangunan (hukum dan masyarakat) yang berbasis hak asasi manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila. Paradigma pembangunan berbasis hak asasi manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila hendaknya menjadi tolok ukur perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan bahkan sosialisasi suatu peraturan daerah. Selain itu, idealnya juga menjadi semacam kaidah penuntun karakterisasi peraturan daerah sebagai sarana promotif, protektif dan implementatif bagi kepentingan masyakarat daerah.
Secara skematis model ideal membangun peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang paralel dengan permasalahan masyarakat Kalimantan Barat sebagaimana dapat digambarkan lewat ragaan berikut:


Dari model ideal di atas dapat dilihat bahwa elemen terpenting dari suatu pembentukan peraturan daerah berada di pundak masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dari situlah berangkat ide-ide, gagasan, kepentingan, harapan dan kemauan agar apa yang hendak diwujudkan dalam suatu peraturan daerah adalah mampu menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di dalamnya adalah hak-hak ekosob masyarakat marjinal.
Dalam konteks keberpihakan Peraturan Daerah Kalimantan Barat bagi masyarakat marjinal sebagaimana menjadi fokus studi ini, maka idealnya konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang terbilang demokratis dewasa ini harus mengutamakan konsepsi pembangunan berbasis HAM dalam mereformasi dan menempatkan peraturan daerah sesuai hakikatnya sebagai sarana respons terhadap kebutuhan masyarakat daerah khususnya bagi masyarakat marjinal.
Dalam rangka membuat suatu Peraturan Daerah yang berbasis HAM yang paralel dengan cita hukum Pancasila, khusus terkait pemenuhan hak ekosob, selain harus mencermati model RIA, ROCCIPI dan RHR, perlu juga diperhatikan prinsip Limburg dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2012 dan No. 77 Tahun 2012 tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan prinsip Limburg dan Peraturan Bersama tersebut setiap Peraturan Daerah yang bersentuhan dengan ruang lingkup hak ekosob: (1) wajib mengatur dan menyediakan upaya penyelesaian yang efektif bagi warga negara yang haknya dilanggar. Prinsip Limburg menegaskan negara tidak boleh sekedar melihat hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat positif dan (2) muatan peraturan daerah mengatur dan menyediakan jaminan tentang penyediaan sumber daya yang tersedia secara maksimal dan langkah­-langkah progresif yang harus dilakukan oleh pemerintah. Anggapan mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas menyesatkan. Negara mempunyai kewajiban yang mengandung efek segera (immediate effect), artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dikualifikasi sebagai “bukan merupakan hak yang sebenarnya” atau sekedar “pernyataan politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya dapat dituntut pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable).
G. Penutup
 1. Simpulan
 Produk hukum yang berupa peraturan daerah yang mengatur hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang kebanyakan merupakan pergulatan masyarakat marjinal, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang tergolong demokratis dewasa ini tidak/belum mampu melahirkan peraturan daerah yang berpihak (responsif) pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Hal ini disebabkan oleh: (1) konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang demokratis tidak serta merta melahirkan peraturan daerah yang responsif bagi pemenuhan hak-hak ekosob; (2) tidak adanya kemauan politik—kalau tidak hendak dikatakan—telah melakukan pembiaran, karena pertama, penyerapan aspirasi lebih banyak dilakukan terhadap masyarakat mayoritas, kedua, sikap pragmatis legislator daerah yang lebih berorientasi pada masyarakat mayoritas yang lebih menjanjikan bagi perolehan suara pada pemilihan umum berikutnya; (3) sifat peraturan daerah masih sporadis, sebatas respons untuk mengatasi permasalahan jangka pendek melalui peraturan daerah dan tidak dapat dikategorikan sebagai program pembangunan peraturan daerah yang sistemik; (4) masih banyak regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten antara yang satu dengan yang lain, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menimbulkan problematika regulasi; (5) persepsi terhadap hak ekosob yang rendah; dan (6) masalah pemerataan (equity) dan pemberdayaan (empowerment).
Model ideal membangun peraturan daerah yang mengakomodasi hak-hak ekosob masyarakat marjinal, maka konfigurasi politik demokratis yang berparadigma pembangunan (hukum dan masyarakat) berbasis hak asasi manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila hendaknya menjadi payung berfikir dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan bahkan sosialisasi suatu peraturan daerah serta menjadi semacam kaidah penuntun karakterisasi peraturan daerah yang responsif sebagai sarana promotif, protektif dan implementatif bagi kepentingan masyakarat daerah. Untuk mengimplementasikan kepentingan masyarakat daerah dalam suatu regulasi (in case: hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal di Provinsi Kalimantan Barat), metode RIA (Regulatory Impact Assesment), ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology) dan RHR (Respect to Human Rights) tidak bisa dilepas-pisahkan dengan pembangunan berbasis HAM yang paralel dengan cita hukum Pancasila.
2. Rekomendasi
Studi ini merekomendasikan penambahan pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya yang mengatur tentang hak warga negara dalam mengajukan gugatan hukum terhadap pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. Penambahan pasal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, perihal parameter hak asasi manusia, khususnya terkait mekanisme pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Studi ini juga mengusulkan agar Pemerintah Daerah dan DPRD Kalimantan Barat untuk segera membangun, menginisiasi dan mempercepat lahirnya produk hukum berupa Peraturan Daerah Kalimantan Barat yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat marjinal sesuai dengan model ideal membangun peraturan daerah yang ditawarkan dalam disertasi ini. Hal ini dimulai dengan pembuatan program legislasi daerah (Prolegda) yang benar-benar dilaksanakan secara terencana, terpadu dan sistematis, lengkap beserta analisisnya yang mendalam dan komprehensif sehingga Prolegda tidak hanya sekedar berbentuk daftar judul atau list rancangan Perda yang akan dibuat. []

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, 1999. Demokrasi diPersimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2009. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
-------, 2006. Perihal Undang-Undang. Konstitusi Press, Jakarta.
------- dan Safa’at, M.Ali , 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta.
Astawa, I Gde Pantja  dan Na’a, Suprin, 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung.
Asy’ari, Hasyim, 2007. Pilkada: Catatan Hukum dan Politik, Diponegoro University Press, Semarang.
Bentham, Jeremy, The Theory of Legislation, (N.M. Tripathi Private Limited, Bombay, 1979); alih bahasa Nurhadi, MA. 2006. Penerbit Nusa Media & Nuansa, Jakarta.
Budiman N.P.D. Sinaga, 2005. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, UII Press, Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam, 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Campbell, Tom “Legal Positivism and Deliberative Democracy”. In Campbell, Tom and Stone, Adrienne (Ed.), 2003. Law and Democracy. Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington.
Clements, Kevin P., 1997. From Right to Left in Development Theory (Terjemahan, Endi Haryono, Teori Pembangunan
Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1994. Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Effendi, Masyhur, 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik. Ghalia Indonesia, Bogor.
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations), 1999. The State of Food Insecurity in the World 1999. FAO, Rome.
Friedman, Lawrence M., 2001. American Law: An Introduction (Second Edition), terjemahan Wishnu Basuki, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, PT. Tatanusa, Jakarta.
Fukuyama, Francis, 1995. Trust, The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The Free Press, New York.
Goesniadhie, Kusnu, 2006. Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-Undangan, JP Books, Surabaya.
Handoyo, Hestu Cipto, 2003. Hukum Tata negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Hardiman, Budi, F., 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius, Yogyakarta.
Hidayat, Arief, TT, Bernegara Itu Tidak Mudah: Dalam Perspektif Hukum dan Politik, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang.
Huntington, Samuel P., 1977. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Grafitti, Jakarta.
Juanda, 2008. Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.
Kuhn, Thomas, 2000. The Structure of Scientific Revolution (Terjemahan), PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Kementerian PPN/BAPPENAS, 2011. Kajian Ringkas: Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan), Kementerian PPN/BAPPENAS, Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS.
LBH Jakarta, 2007. Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan, LBH Jakarta, Jakarta.
Lexy, J. Moleong, 1996. Metode Penelitian Kualitatif, PT. Rosda Karya, Bandung.
Lincoln, Y.S., 1994. Handbook of Qualitative Research, Sage, London.
Direktorat Politik dan Komunikasi, Laporan Kajian Akhir Tahun 2012. Peran Masyarakat Adat dalam Perumusan Kebijakan Publik, Direktorat Politik dan Komunikasi Kementrian PPN/Bappenas.
Mahfud MD, 2009. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta.
-------, 2012. Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-6, Jakarta.
-------, 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
-------, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. LP3ES, Jakarta
Marzuki, Suparman, 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Erlangga, Surabaya.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.
Manan, Bagir, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. IN-HILL-CO, Jakarta.
-------, 1994. Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Miles, Matthew B dan Michael Huberman, 1992. Analisa Data Kualitatif, UI Press.
Mulya Lubis, Todung, 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Natonagoro, 1987. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Bina Aksara, Jakarta.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip , 1978. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper and Row, New York.
--------, 2007. Hukum Responsif, Penerbit Nusa Media, Yogyakarta.
Pratikno, 2003. “Desentralisasi, Pilihan yang tidak Pernah Final”, dalam Jim Schiller (Edt.) Jalan Terjal Reformasi Lokal, Dinamika Politik di Indonesia, Program Pascasarjana, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1977. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
-------, 2000. Ilmu Hukum, Citra Adtya, Bandung.
-------, 2003. Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Rahayu, 2012. Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Rawls, John, 1971. Theory of Justice. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts
Ridwan, Juniarso dan Sudrajat, Achmad Sodik 2010. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, Bandung.
Rohman, Ainur dkk., 2012. Partisipasi Warga Dalam Pembangunan dan Demokrasi. Aveeoes Press, Jakarta.
S. Lev, Daniel, 1990. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Safitri, Myrna A. and Rafael Edy Bosco, 2002. Indigeous People/Ethnic Minorities and Poverty Reduction Indonesia. Asian Development Bank, Manila.
Samekto, F.X. Adji, 2003. Studi Hukum Kritis, Kritik Terhadap Hukum Modern. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
-------, 2015. Pergeseran Pemikiran Hukum di Era Yunani Menuju Postmodernisme, Konstitusi Press, Jakarta.
Sidharta, Bernard Arief , 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Simamarta, Rikardo, 2003. Pembaharuan Hukum Daerah Menuju Pengembalian Hukum Kepada Rakyat. YBH Bantaya, Yayasan Kemala dan HuMA, Jakarta.
--------, 2007. Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society & Development, Volume I Desember.
Susanto, IS dan Bernard L. Tanya (Penyunting), 2000. Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Satjpto Rahardjo, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suyanto, Bagong, 1995. Perangkap Kemiskinan: Problem & Strategi Pengentasannya, Airlangga University Press, Surabaya.
Tanya, Bernard L., Simanjuntak, Yoan B. dan Hage, Markus Y., 2006. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. KITA, Surabaya.
Turner, Jonathan H., 1982. The Structure of Sociological Theory. The Dorsey Press, Homewood, Illinois.
WALHI Kalbar, 2014. Ekses Monopoli Lahan oleh Perkebunan Skala Besar, WALHI, Kalimantan Barat.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990). Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-------, 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal Kasim (Ed.). ELSAM dan HUMA, Jakarta.
Wilardjo, Liek, 1990. Realita dan Desiderata. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.
Wirjosoegito, Soenobo, 2004. Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Yusriyadi, 2009. Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat. Malang: Surya Pena Gemilang.

Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai-mana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social And Cultural Rights (Konvenan internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sebagaimana telah diubah dan diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 20 Tahun 2012 Nomor: 77 Tahun 2012 Tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Perpres Nomor 23 Tahun 2011 tentang RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 selanjutnya telah diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah yang selanjutnya diganti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan sebagaimana telah diganti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Kumpulan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, dari tahun 2000-2014

Internet
http://www.huma.or.id/kasus-perebutan-lahan-atau-konflik-agraria, diakses pada tanggal 10 Januari 2015.





DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi

Nama Lengkap

:

Rahmad Satria
Tempat/Tanggal Lahir
:
Wajok Hilir, 26 Oktober 1969
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Ketua DPRD Kabupaten Mempawah
Status Perkawinan
:
Menikah
Alamat
:
Jln. Raya Wajok Hilir No. 31 Km. 13 Kec. Siantan Kab. Mempawah 78351
HP
:
0811561035
E mail
:
rahmadsatria69@gmail.com

Keluarga: Istri dan Anak
1.
Hj. Erni Suherni, S.Pd.,M.Pd. (Isteri)/PNS Diknas Kab. Mempawah
2.
Rizky Srikandi (Anak I)/Siswa MTs Negeri 1 Siantan
3.
Kurnia Srikandi (Anak II)/Siswa SDN 7 Siantan
4.
Tri Murghni Srikandi (Anak III)/TK- Jungkat
Pendidikan Formal
1.
SD Negeri 07 Wajok Hilir (1977-1984)
2.
SMP Negeri 1 Jungkat (1984-1987)
3
SMA Negeri 5 Pontianak (1987-1990)
2.
S1 Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak (1990-1994)
3.
S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak (2001-2003)
Pendidikan/Pelatihan/Kursus
1.
Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka Tahun 2005
2.
Kursus Mahir Lanjutan (KML) Pramuka Tahun 2012
3.
Kursus Pelatih Dasar (KPD) Pramuka Tahun 2014
4.
Kursus LEMHANAS Tahun 2008
5.
Diklat Legal Drafting Kementerian Dalam Negeri RI
6.
Diklat Wasit Karate-KKI (1997)
7.
Diklat Bantuan Hukum Masyarakat Miskin (1997)
8.
Diklat Wartawan-PWI RI Kalimantan Barat Tahun 1999
9.
Diklat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Kelautan 2012
Pengalaman Jabatan/Organisasi
1.
Pengacara Praktik (1995-2005)
2.
Kepala Desa Wajok Hilir (1998-1999)
3.
Ketua Kecamatan Partai Golkar Pontianak (1999)
4.
Ketua Komisi A DPRD Kab. Pontianak (1999-2004)
5.
Ketua DPD Partai Golkar Kab. Pontianak (2004-2009)
6.
Ketua DPD Partai Golkar Kab. Mempawah (2009-2014)
7.
Ketua DPD Partai Golkar Kab. Mempawah (2014-2019)
8.
Ketua DPRD Kab. Pontianak (2004-2009)
9.
Ketua DPRD Kab. Pontianak (2009-2014)
10.
Ketua DPRD Kab. Pontianak (2014-2019)
11.
Ketua PSSI Kab. Mempawah (2015-2020)
12.
Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kab. Mempawah (2006-2011) dan (2011-2016)
13.
Ketua DPC Pemuda Pancasila Kab. Pontianak (2003-2008) dan (2008-2013)
14.
Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Islam Kab. Mempawah (2011-Sekarang)
15.
Ketua LBH Kosgoro Kalimantan Barat (1997-2000)
16.
Ketua ORARI Cabang Mempawah (2012-Sekarang)