Oleh: Rahmad Satria
A. Latar
Belakang
Rekam jejak sejarah mencatat, semenjak tahun 1945 hingga
tahun 2015, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah di Indonesia dalam
praktiknya tidak selalu sejalan dengan prinsip demokrasi. Pembabakan
konfigurasi politik yang terpetakan sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat
ini, ada kalanya menunjukkan karakter yang demokratis dan ada pula sebaliknya.
Pada periode 1945-1959. Menurut Mahfud MD
(1999:277), secara umum konfigurasi politik dalam Pemerintahan Daerah pada masa
ini tergolong demokratis. Kurun waktu berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, UU No. 22 Tahun 1948
tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di
Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Ciri
demokrasi paling menonjol yang diperlihatkan dalam praktek pemerintahan ketika
itu adalah demokrasi liberal.
Periode akhir 1959-1965. Melalui Penetapan Presiden
No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah, struktur pemerintahan daerah
digeser menjadi sangat sentralistik melalui mekanisme pengendalian pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah yang sangat ketat. Secara praktis DPRD yang
biasanya dianggap sebagai representasi dari perwujudan otonomi daerah, tidak
diberi kewenangan dan atau peran apapun. Kedudukan DPRD yang demikian terus
berlangsung pula selama masa berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang materinya sama dengan Penetapan Presiden
No. 6 Tahun 1959.
Periode 1966-1999. Selepas masa berlakunya
UU Nomor 18 Tahun 1965, di bawah Orde Baru telah lahir UU Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah. Mahfud MD (1999:280) menggolongkan
Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang ini tidak demokratis. Konfigurasi
politik tergolong otoriter. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah terlihat pada ketentuan yang memberikan kekuasaan pada Pemerintah
pusat untuk menentukan Kepala Daerah tanpa terikat pada peringkat hasil pemilihan
di DPRD. Di samping sebagai organ Daerah Otonom, Kepala Daerah adalah alat
Pemerintah Pusat dengan sebutan Kepala Wilayah. Kedudukan DPRD kala itu
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Pemerintah Daerah. Periode
1999-Sekarang. Memasuki era reformasi yang ditandai oleh jatuhnya rezim
otoritarian Orde Baru dan kemudian diikuti dengan amandemen UUD NRI 1945 hingga
empat tahapan. Kebebasan pers dan parlemen yang kuat pada masa ini menjanjikan
tata kelola pemerintahan melalui prinsip good governance serta besarnya
peluang bagi seluruh rakyat untuk berperan secara maksimal dalam menentukan
kebijakan negara.
Deskripsi tata kelola Pemerintahan Daerah pasca
reformasi, khusus pada masa berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ditandai oleh konfigurasi politik yang demokratis meski
dalam praktiknya pernah terjebak pada konfigurasi politik yang
oligarkis dan pada akhirnya kembali memperlihatkan konfigurasi politik
yang demokratis. Kembalinya konfigurasi politik yang demokratis dari
konfigurasi politik yang oligarkis, ditandai oleh oleh lahirnya Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian
diubah kembali beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Meminjam kategorisasi dari Mahfud MD
(2009:107), secara umum konfigurasi politik pemerintahan daerah di era
reformasi dewasa ini tergolong konfigurasi politik yang demokratis, dicirikan
dengan karakter produk hukum yang tergolong responsif. Tesis Mahfud MD tersebut
menegaskan adanya korelasi yang bersifat mutlak antara konfigurasi politik
(demokratis atau sebaliknya tidak demokratis), dengan karakter produk hukumnya.
Atas tesis tersebut dapat dibangun proposisi bahwa konfigurasi politik
pemerintahan daerah dewasa ini tergolong demokratis, karena itu peraturan
daerah tergolong responsif terhadap problematika masyarakat daerah. Namun
faktanya di Kalimantan Barat konfigurasi politik pemerintahan daerah yang
demokratis tersebut, tidak serta merta melahirkan peraturan daerah yang
responsif dan berpihak kepada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat marjinal. Dalam kasus pengaturan hak-hak ekosob, tidak semua daerah
yang meresponnya dengan melakukan pengaturan melalui peraturan daerah. Secara
eksplisit tampak dari fakta-fakta sebagai berikut:
a. Fakta
Hukum
Secara spesifik masih sedikit atau
belum memadainya peraturan daerah yang dibuat untuk memenuhi hak-hak ekosob.
Kondisi ini ditambah lagi dengan kemauan politik (political will) untuk
menyelenggarakan hak-hak ekosob yang tidak selalu paralel dengan lahirnya
peraturan daerah atau hukum positif (in abstracto) akibat kompleksnya
interaksi politik di daerah.
b. Fakta
Fisik/Empirik
Secara makro Provinsi Kalimantan
Barat tergolong provinsi dengan jumlah masyarakat marjinal (komunitas adat
terpencil & masyarakat miskin) tertinggi di pulau Kalimantan. Dari
aspek kuantitatif penduduk miskinnya mencapai 8,07%. Masyarakat marjinal di
pedesaan mencapai 9,20%, sedangkan di perkotaan mencapai 5,47%. Berdasarkan
peringkat IPM-nya terendah di wilayah pulau Kalimantan. Di sisi lain, implikasi
fakta kemiskinan dan rendahnya IPM bekorelasi terhadap maraknya konflik tata
kelola SDA. Walhi Kalimantan Barat dan Perwakilan Komnas HAM merilis dalam 1
(satu) dekade terakhir sedikitnya telah terjadi 88 (delapan puluh delapan)
kasus terkait perebutan lahan dengan investor skala besar dan disusul pula
kasus-kasus lain terkait pelanggaran terhadap hak atas lingkungan serta akses
kehidupan yang layak.
c. Fakta
Sosial
Terjadi simplifikasi kewajiban
pemerintahan daerah menjadi sekedar tanggung jawab. Akibatnya dalam tataran praksis,
hak-hak ekosob masyarakat marjinal belum/tidak dipahami sebagai rangkaian hak
yang utuh (hak ekonomi determinan bagi hak sosial, hak sosial determinan bagi
hak budaya). Bahkan masih sering terjadi tolak-tarik antara pemerintah pusat
dengan Pemda soal kewenangan menyelenggarakan hak-hak ekosob.
Praktiknya, proses pembuatan
peraturan daerah tidak selalu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Upaya
menjaring pendapat masyarakat umum dalam rangka pembuatan suatu peraturan
daerah yang populer disebut public hearing dilakukan tidak lebih dari
sekedar prasyarat formal tanpa makna substantif. Problematika krusial lainnya,
karena kelompok masyarakat marjinal tidak memiliki akses kepada pusat kekuasaan
yang menyusun dan memutuskan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Kehidupan kelompok-kelompok marjinal sangat tergantung pada kelompok-kelompok
kepentingan yang berada di luarnya, yang sejatinya memiliki kepentingan
sendiri, dan pada umumnya berbeda serta tidak sejalan dengan
kepentingan-kepentingan kelompok marjinal. Dampak negatifnya, pelanggaran
terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal menjadi tak
terhindarkan.
Kondisi yang demikian bukan saja
merupakan suatu praktik yang bertentangan dengan perintah konstitusi yang
menempatkan negara, dalam hal ini juga turut direpresentasikan oleh
pemerintahan daerah sebagai institusi yang berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga tindakan
pengabaian terhadap International Covenant on Economic, Social And Cultural
Rights yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, melalui UU No.11
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social And
Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya).
Sejumlah fakta di atas telah
melatarbelakangi studi disertasi ini sekaligus menjadi alasan pemilihan judul:
KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN KEBERPIHAKAN PERATURAN DAERAH PADA
MASYARAKAT MARJINAL (Studi Terhadap Pengaturan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
di Provinsi Kalimantan Barat).
B. Fokus
Studi dan Permasalahan
Studi ini difokuskan pada fakta
ketidakberpihakan peraturan daerah pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat marjinal. Fokus studi dalam penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi, mendeskripsi dan memahami kondisi konfigurasi politik
pemerintahan daerah di satu pihak dengan pengaturan pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya di pihak lain. Terkait hal tersebut, maka urgensi penekanan
kepada aspek interaksi politik dengan lahirnya peraturan daerah bagi pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan fokus studi yang spesifik dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini, sebagai berikut:
1.
Mengapa
konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang tergolong
demokratis dewasa ini tidak/belum mampu menghasilkan peraturan daerah yang
berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat
marjinal?
2.
Bagaimanakah
model ideal membangun Peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang paralel dengan permasalahan masyarakat marjinal
di Kalimantan Barat?
C. Kerangka
Pemikiran
Secara skematis kerangka pemikiran
disertasi Konfigurasi Politik Pemerintahan Daerah dan Keberpihakan Peraturan
Daerah pada Masyarakat Marjinal (Studi Terhadap Pengaturan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya di Provinsi Kalimantan Barat), tampak pada ragaan di bawah
ini:
Pemenuhan hak-hak ekosob merupakan
suatu keniscayaan adanya peran dari negara di dalam segala proses kehidupan
berbangsa dan bernegara. Peran negara tersebut bukanlah untuk negara, namun
diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakatnya, termasuk dalam konteks ini
adalah kelompok masyarakat marjinal. Relasi kemasyarakatan yang seimbang
berbasis pada ketuhanan, kemanusian, nasionalis, demokratis dan keadilan
sosial mutlak diperlukan. Nilai keseimbangan tersebut tercermin dalam
Pancasila, yang kesemuannya tidak terpisahkan, bersifat kumulatif dan komplementer
sehingga harus berjalan secara integral dan sistemik serta seimbang.
Studi ini menggunakan konsepsi teori
pembangunan berbasis hak asasi manusia (pembangunan berbasis HAM) yang parallel
dengan cita hukum Pancasila sebagai kaidah evaluasi. Inti dari pembangunan berbasis
HAM adalah bahwa nilai-nilai dan standar universal HAM harus mendasari
pembangunan, baik proses maupun hasilnya. Pembangunan berbasis HAM merupakan
inovasi yang dibangun melalui proses sejarah yang panjang dan terkait upaya
untuk menciptakan praktik yang sepenuhnya menggabungkan bidang HAM dan
pembangunan. Kerangka kerjanya dilakukan dengan mengintegrasikan norma,
standar, dan prinsip HAM ke dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi bukan
yang terutama, tetapi perbaikan pada semua aspek seperti kesehatan, lingkungan,
perumahan, pendidikan, distribusi sumber daya, peningkatan kemampuan dan
pilihan masyarakat.
Pada tingkat metodologis strategi
pembangunan berbasis HAM antara lain menekankan pada proses meningkatkan
pemberdayaan kelompok masyarakat marjinal. Dikarenakan kata kuncinya adalah
‘pemberdayaan’ maka partisipasi kelompok rentan, kesetaraan dan perlakuan yang
non-diskriminasi serta akuntabilitas merupakan prasyarat pembangunan berbasis
HAM. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat marjinal, teori pembangunan berbasis
HAM mengajukan setidaknya 7 (tujuh) prinsip yang menjadi semacam kaidah
pendekatan dan evaluasi apakah suatu proses pembangunan telah berbasis HAM atau
justru sebaliknya, yaitu: (1) Rule of Law (RoL); (2) Universal dan tidak
dapat dicabut (universalism and inealienability); (3) Keutuhan dan
kesaling-tergantungan (indivisability and interdependence); (4)
Non-diskriminasi dan kesetaraan (non-discrimination and equality); (5)
Partisipasi (participation); (6) Pemberdayaan (empowerment); (7)
Akuntabilitas dan transparansi (accountability and transparency).
Di samping konsepsi teori
pembangunan berbasis hak asasi manusia, studi ini juga menggunakan kerangka
pikir responsive law dari Nonet dan Selznick sebagai kerangka ideal
pembangunan peraturan daerah. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe
hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial
demi mencapai keadilan substansial dan emansipasi publik. Hukum responsif
merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi.
Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif
tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan
keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial
yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
Analisis Nonet dan Selznick,
sebetulnya ingin mengkritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek
yang hanya berkutat di dalam sistem aturan hukum positif—model yang mereka
sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman mengenai
hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards
pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah sebabnya, hukum
responsif mengandalkan dua "doktrin" utama. Pertama,
hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua,
kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.
Menurut Adji Samekto (2012:112),
diskursus tentang responsive law dari Nonet dan Selznick sesungguhnya
sangat dekat dengan ide (gagasan) hukum progresif yang ditawarkan Satjipto
Rahardjo. Dalam konteks hukum progresif ini memang kita diajak berpikir out
of the box dari cara berpikir autonomous law. Berpikir out of the
box di sini dimaksud agar kita tidak terbatasi oleh cara berpikir dalam
sistem hukum modern saja “yang merefleksikan autonomous law” dan
menganggap cara berpikir itu adalah yang paling benar, karena terbukti autonomous
law dalam praktek sistem hukum modern hanya mampu mewujudkan formal
justice. Makna yang terkandung dalam hukum progresif ini bisa menjelaskan
makna tipologi responsive law. Gagasan hukum progresif bisa digunakan
untuk semakin menjelaskan hakikat responsive law dari Nonet dan
Selznick, karena keduanya bertujuan menegakkan keadilan yang bersifat
substansif. Hukum progresif berangkat dari kebuntuan karena hukum (yang
dikatakan bersifat otonom) tidak mampu memberi manfaat untuk mewujudkan
keadilan substansial.
Studi ini dilakukan dengan
mempertimbangkan kemungkinan munculnya tipe yang emansipatif yang tampak
terlewatkan dari perhatian penstudi hukum yang beranjak dari kerangka Nonet
& Selznick. Untuk itu, tipe emansipatif yang hendak diwujudkan dalam
peraturan daerah yang partsipatif dan berprespektif HAM, khususnya hak ekosob
bagi masyarakat marjinal dapat dipergunakan metode RIA (Regulatory Impact
Assesement), ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication,
Interest, Process and Ideology) dan ditambah RHR (Respect to Human
Rights) (2007:17), yang tidak boleh dilepas-pisahkan dengan pembangunan
berbasis HAM.
D. Tujuan
dan Kontribusi Penelitian
Studi ini secara spesifik bertujuan:
(1) Mengevaluasi dan mendeskripsi serta memberikan pemahaman terhadap interaksi
poltik dengan lahirnya peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat marjinal; (2) Mengajukan model ideal
membangun peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat marjinal di Kalimantan Barat yang paralel dengan karakteristik
permasalahan yang dihadapi.
Sebagaimana layaknya sebuah karya
tulis pada umumnya, penelitian ini diharapkan membawa manfaat keilmuan dan
sekaligus juga manfaat pragmatis, yaitu: (1) dapat memperkaya
kajian teoretik terkait ilmu peraturan perundang-undangan dan juga hukum
otonomi daerah. Pada gilirannya, hasil studi ini akan dapat menyumbangkan
informasi ilmiah yang konseptual mengenai sosok, dinamika, dan implikasi dari
peraturan daerah serta formulasinya terhadap upaya pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya; (2) menghasilkan resep perumusan kebijakan yang bersifat
praktis, bagi pemerintah daerah, DPRD, perancang peraturan daerah, penstudi
hukum, maupun masyarakat sesuai kepentingannya.
E. Proses
Penelitian
Cara kerja dalam penelitian ini mengikuti
tata aturan penelitian kualitatif (qualitative research), yang
melihat suatu realitas dalam konteksnya, bersifat deskriptif, serta
penafsirannya terikat pada ruang dan waktu. Paradigma penelitian ini adalah konstruktivisme,
yang dicirikan oleh tujuan utama untuk memahami sebuah realitas (dalam hal ini
realitas peraturan daerah dalam korelasinya dengan dinamika konfigurasi politik
pemerintahan daerah). Melalui paradigma konstruktivisme, peraturan daerah
dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial, atau produk dari fakta, bahkan
struktur sosial yang eksis dalam suatu kurun waktu tertentu.
Strategi penelitian dilakukan
melalui studi kepustakaan dan studi kasus. Studi kepustakaan dilakukan terhadap
semua dokumen ataupun literatur tentang konfigurasi politik, peraturan daerah
dan literatur terkait. Sebaliknya perihal studi kasus, adalah mempelajari
secara mendalam kasus-kasus pelanggaran dan pemenuhan hak-hak ekosob di
Provinsi Kalimantan Barat. Kasus-kasus yang ada diklasifikasikan sesuai dengan
kategorisasi hak-hak ekosob yang dilanggar dan dianalisis sesuai kebutuhan
penelitian.
Jenis data utama penelitian ini
adalah data kualitatif berupa material empiris, yaitu dokumen resmi (peraturan
perundangan-undangan, risalah dan draf akademik pembuatan peraturan
perundang-undangan tentang Peraturan Daerah Kalimantan Barat), program ataupun
kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi tata laksana hak ekosob, dan terbitan
resmi lainnya seperti: jurnal, buku, majalah, ensiklopedi cuplikan, kutipan,
dan data statistik dari lembaga terkait. Pengumpulan data dilakukan sesuai
prinsip snow balling, dimulai dari suatu titik, satu jenis data dan lalu
menyebar. Data dikumpulkan sebanyak mungkin kemudian dikelompokkan dan
dipilah-pilah. Data yang tergolong cukup dan memadai untuk menjawab
permasalahan penelitian lalu didiskusikan dalam kelompok terfokus (Focus
Group Discussion/FGD), sebagai langkah akhir sebelum data benar-benar dapat
dikategorikan sebagai data final.
Validasi data dilakukan sesuai
prinsip synchronic reliability (kesesuaian dengan realitas), merupakan
prinsip yang dipegang teguh dalam rangka konsistensi dan mutu data yang
dikumpulkan. Selain itu pengecekan mutu melalui metode triangulasi juga
dilakukan. Data yang dikumpulkan melalui studi dokumen dicek kembali konsistensi
dan mutunya melalui Focus Group Discussion. Selanjutnya perihal analisis
data, studi ini mengikuti model analisis interaktif Miles dan Huberman.
F.
Pokok-Pokok Hasil Penelitian.
1. Peta Teoretik dan Konsepsi Konfigurasi Politik,
Peraturan Daerah Dan Masyarakat Marjinal.
Secara etimologis konfigurasi
berasal dari kata dalam bahasa Inggris ‘configuration’ yang lebih kurang
bermakna sebagai: ...bentuk atau susunan atau pun wujud untuk menggambar suatu
benda (John dan Hassan Shadily, 1994). Dalam rangkaian kata ‘konfigurasi
politik’ tafsir semantik kata konfigurasi tersebut menurut Suparman Marzuki
(2014:85) adalah: ....susunan atau tata letak atau konstelasi kehidupan politik
yang terdapat pada suatu masa, yang menggambarkan keadaan politik pada masa
tersebut. Sementara Mahfud MD (2009:30) mengartikan konfigurasi politik
sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik. Susunan atau konstelasi
kekuatan politik dimaksud secara dikotomis dibagi atas 2 (dua) konsep yang
bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan
konfigurasi politik otoriter. Dalam rangkaian kata ‘konfigurasi politik
pemerintahan daerah’ sebagaimana tema pokok studi ini, maka yang dimaksudkan
atau yang menjadi fokus analisisnya adalah konstelasi politik yang demokratis
dalam tata kelola pemerintahan daerah, khususnya dalam proses legislasi daerah.
Dinamika konfigurasi politik
tertentu yang berlaku dalam suatu negara akan berpengaruh pada sifat atau
karekter politik hukum dan produk hukum dari negara tersebut, sehingga
perubahan konfigurasi politik akan memengaruhi politik hukum dan produk
hukumnya. Berkaitan dengan produk hukum berupa peraturan daerah, maka dalam hal
ini terminologi peraturan daerah, sesuai UUD NRI 1945 hasil amandemen
menegaskan bahwa dengan diberikannya otonomi seluas-luasnya kepada daerah, maka
daerah dapat menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya. Dengan demikian
secara kategorial, peraturan daerah dan peraturan dalam bentuk lainnya
merupakan bagian dari produk hukum daerah.
Bagir Manan (1992:13) bahkan
“menganalogikan” Peraturan Daerah semacam Undang-Undang, untuk beberapa alasan:
Pertama, ditinjau dari aspek organ pembentukannya,
peraturan daerah dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah. Dua organ daerah inilah yang disebut
pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Oleh sebab
itu secara prinsipil, peraturan daerah itu dibentuk oleh organ daerah yang
diberi kewenangan atribusi oleh UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kedua, dari
aspek substansinya, peraturan daerah itu dibentuk dan dilaksanakan untuk
mengatur dan mengurus kewenangan-kewenangan otonomi dan tugas pembantuan. Dalam
rangka tugas pembantuan yang merupakan manifestasi dari prinsip pemencaran
kekuasaan, suatu daerah berwenang membuat aturan hukum seperti Peraturan Kepala
Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah dengan ketentuan tidak boleh melanggar
norma hukum yang terdapat di dalam Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagai salah satu
bentuk produk hukum daerah pada hakikatnya merupakan standar aturan main untuk
menerapkan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Juanda
(2008:120), menegaskan dalam arti ketatanegaraan, desentralisasi adalah
pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus
rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom). Desentralisasi adalah juga
cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara
Selanjutnya berkaitan dengan
masyarakat marjinal, secara etimologis kata marjinal berasal dari bahasa
inggris marginal, yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Dalam
rangkaian kata ‘masyarakat marjinal’, kata marjinal menujuk pada suatu kelompok
masyarakat yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai
kelompok pra-sejahtera. Masyarakat marjinal juga identik dengan masyarakat
kecil atau kaum yang terpinggirkan (LBH-Jakarta, 2007:7). Todung Mulya Lubis
(1986:43) mengartikan marjinalisasi sebagai sebuah proses sosial yang
membuat masyarakat menjadi marjinal, baik terjadi secara alamiah maupun
dikreasikan oleh kebijakan publik sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial
yang terpinggirkan.
Dalam ilmu sosiologi, masyarakat
marjinal dikenal dengan istilah ‘liyan’ atau the other (dalam
bahasa Jerman das fremde atau das andere) yang berarti “asing”
atau “yang lain”. Liyan atau kaum-kaum marjinal atau auβenseiter
adalah objek yang bertentangan dengan subjek atau diri, yaitu pihak atau objek
yang berada di luar subjek, sebagai pembanding bagi subjek tersebut. Misalnya
dalam studi gender, perempuan dapat disebut liyan bagi laki-laki dan
sebaliknya. Dalam masalah hukum kenegaraan, liyan adalah orang-orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan negara.
Secara faktual, yang dimaksud dengan
masyarakat marjinal sebetulnya hampir sama dengan masyarakat miskin. Akan
tetapi, lebih dari sekedar fenomena ekonomi, esensi masyarakat marjinal adalah
menyangkut kemungkinan orang atau keluarga itu untuk melangsungkan dan
mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya. Di kota besar, golongan
masyarakat yang mengalami marjinalisasi umumnya adalah kaum migran, pedagang
kaki lima, anak jalanan, penghuni pemukiman kumuh dan pedagang asongan yang
umumnya tidak terpelajar dan tidak terampil. Golongan masyarakat marjinal ini
meliputi pula para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah.
Dalam konteks masyarakat marjinal
tersebut, pemenuhan dan penegakan hak-hak ekosob menurut Soetandyo
Wignjosoebroto (2007:12) tidak bisa dilaksanakan dengan paradigma netral.
Untuk merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang asasi, hukum
tidaklah harus berparadigma netral, melainkan harus memihak. Hukum harus
memihak kepada kepentingan pihak yang miskin, yang termarjinalisasi dan yang
belum diuntungkan. Inilah yang dimaksudkan dengan hukum yang berkarakter
populis dan jauh dari kecenderungan-kecenderungannya yang tak pantas ke arah
karakternya yang terlalu elitis. Hukum yang terlalu elitis malah cenderung
mengundang ketidakpuasan pihak yang berposisi rawan dan merasa diperlakukan tak
adil dan dipermiskin, yang akhirnya hanya mengundang protes-protes dan
demonstrasi massa yang rusuh dan pula tak produktif.
2. Profil Daerah, Potret Konfigurasi
Politik dan Fakta Ketidakberpihakan Peraturan Daerah Pada Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya Masyarakat Marjinal.
a.
Profil
Daerah
Provinsi Kalimantan
Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2o08
LU serta 3005 LS serta di antara 108o0 BT dan 114o10
BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini maka, Provinsi
Kalimantan Barat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0o)
tepatnya di atas Kota Pontianak. merupakan provinsi terluas keempat setelah
Papua ((421.891 km2), Kalimantan Timur (202.440 km2) dan Kalimantan Tengah
(152.600 km2). Berbatasan langsung dengan Malaysia Timur serta memiliki akses
jalan darat menuju wilayah Malaysia Timur dan Negara Brunai Darusalam.
Secara administrasi pemerintahan
saat ini, Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 14 (empat belas)
kabupaten/kota, yaitu: dua belas kabupaten dan dua kota. Empat belas
kabupaten/kota ini terbagi dalam 176 kecamatan yang seluruhnya terbagi lagi
menjadi 1.967 desa/kelurahan.
Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan
Barat berdasarkan data statistik 2013 berjumlah 4.641.393 dengan kategori
jenis kelamin adalah: pria berjumlah 2.366.292 dan wanita berjumlah 2.275.101.
Sebagian besar beragama Islam (52,20 %). Agama lainnya: Katolik (19,00 %),
Protestan (9.00 %), Budha (2,70 %), Hindu (0,10 %) dan lain-lain (15,00 %).
Umumnya bermata pencaharian sebagai petani (sebagain besar), nelayan, pedagang,
pegawai dan karyawan di sektor swasta.
Provinsi Kalimantan Barat juga
dikenal sebagai miniatur etnik Indonesia. Hampir seluruh etnik yang ada di
Indonesia terdapat di Provinsi Kalimantan Barat, dengan mayoritas etnik adalah
Dayak, Melayu, Jawa dan etnik yang lainnya: Banjar, Bugis, Madura, Sunda,
Minang, Batak, Manado, Bali, Ambon, Papua, serta penduduk Indonesia yang
berasal dari keturunan Arab, India dan Cina. Penduduk asli Kalimantan
Barat itu sendiri, berasal dari etnik Melayu dan Dayak. Interaksi antar
etnik di Kalimantan Barat tidak selamanya berjalan damai. Beberapa kali
terjadi konflik etnik dalam skala luas dan masif, yang memakan korban jiwa dan
harta benda tidak sedikit—ribuan nyawa melayang dan tidak terhitung
materi-properti musnah.
b. Sekilas Potret Konfigurasi Politik
Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat.
Konfigurasi
politik pemerintahan daerah di Provinsi Kalimantan Barat pada 5
(lima) tahun terakhir (dari tahun 2009 sampai dengan 2014) tergolong
demokratis. Tampak dari proses pemilihan langsung baik pemilihan anggota
legislatif (Pemilihan anggota DPRD 2009) maupun pemilihan kepala daerah
(Pemilihan Gubernur 2007 dan 2012), yang diikuti melalui partisipasi aktif
pemilih dan tingkat persaingan politik yang kondusif.
Konfigurasi politik Pemerintahan
Daerah Kalimantan Barat yang tergolong demokratis tersebut tersimpul
dalam 2 (dua) hal. Pertama, seiring semangat reformasi,
konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat juga memasuki era baru
pula. Aktor, institusi dan budaya lokal bermunculan kembali dan mulai memainkan
peran di dalam politik lokal. Aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki
simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Kedua,
keunikan konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat jika
dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya karena Provinsi Kalimantan Barat secara
kontekstual menganut konsesi politik antar etnis atau paham politik identitas
etnis. Politik etnis di Kalimantan Barat telah menjadi hal yang biasa dan
bahkan merupakan alat kontrol terjadinya konflik dan kekerasan antar etnis.
Karakteristik dan cermin konfigurasi
politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang demokratis juga tampak dari
indeks demokrasi di Provinsi Kalimantan Barat 2014 sebesar 80,58.
Angka ini naik 13,06 poin dibandingkan dengan indeks demokrasi Provinsi
Kalimantan Barat 2013 sebesar 67,52. Dengan peningkatan ini maka tingkat
demokrasi Kalimantan Barat berada pada kategori baik (lihat diagram di bawah).
Perkembangan indeks demokrasi Provinsi Kalimantan Barat dari 2009 hingga 2014 mengalami fluktuasi (tahun 2009 sebesar 72,38; tahun 2010 sebesar 69,32; tahun 2011 sebesar 74,86; tahun 2012 sebesar 65,38; tahun 2013 sebesar 67,52 dan tahun 2014 sebesar 80,58). Fluktuatifnya angka indeks demokrasi adalah cermin dinamika situasi demokrasi di Kalimantan Barat. Indeks demokrasi Kalimantan Barat sejak tahun 2009 hingga 2014 secara perlahan-lahan bergerak berada pada kategori baik.
Secara lebih rinci, pada 2014
distribusi indeks dalam ketiga aspek demokrasi yang diukur mengalami
peningkatan dari tahun 2013. Aspek kebebasan sipil mengalami peningkatan
sebesar 0,90 poin, aspek hak-hak politik mengalami peningkatan sebesar 13,76
poin dan indeks dari aspek lembaga demokratis mengalami peningkatan sebesar
27,23 poin. Walaupun terjadi peningkatan indeks, pola sebaran nilai di atas
masih sama dengan tahun pengukuran sebelumnya, yaitu kebebasan sipil secara
umum terkategori “baik” dan aspek hak-hak politik yang semula terkategori
“buruk”, namun pada tahun 2014 masuk kategori “sedang”. Sementara lembaga
demokratis tahun 2013 terkategori “sedang” berubah menjadi terkategori “baik”
pada tahun 2014. Salah satu indikator dalam aspek hak-hak politik adalah
persentase anggota perempuan terhadap total anggota DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Dari data indeks demokrasi 2014 diperoleh informasi bahwa
persentase anggota perempuan terhadap total anggota DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang masih rendah, di samping itu masih adanya kecenderungan
penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan seperti merusak, memblokir, membakar dan melakukan penyegelan
terhadap kantor-kantor pemerintah.
Variabel pada indeks
demokrasi 2014 terdapat sembilan variabel yang mengalami peningkatan
indeks dari tahun 2013 dan tiga variabel yang tidak mengalami perubahan indeks
atau relatif sama. Dari sembilan variabel yang mengalami kenaikan, tiga di
antaranya meningkat cukup berarti. Kenaikan terbesar pada indeks variabel peran
partai politik juga mengalami kenaikan cukup besar yakni sebesar 78,22
poin dari 8,92 tahun 2013 menjadi 87,14 tahun 2014. Indeks variabel lain yang
meningkat cukup berarti di antaranya variabel-variabel peran peradilan
independen juga mengalami kenaikan sebesar 50,00 poin dari 50,00 tahun 2013
menjadi 100,00 tahun 2014, kemudian variabel hak memilih dan dipilih (naik
27,48 poin dari 48,79 pada 2013 menjadi 76,27 pada 2014, lihat ragaan di
bawah).
Ciri berkembangnya kehidupan
demokratis di Kalimantan Barat juga nampak dalam dua kali proses pemilihan umum
yang dilaksanakan mulai dari tahun 2009 hingga tahun 2014 baik pemilihan umum
legislatif (DPRD) maupun pemilihan kepala daerah (Gubernur). Secara umum,
indikator yang dapat digunakan untuk menilai suatu ciri konfigurasi politik
dapat digambarkan sebagai berikut:
Prosedur
Hukum
|
Hasil
Pemilihan
|
Ciri
Konfigurasi Politik
|
Predictable
|
Predictable
|
Totaliter
|
Unpredictable
|
Predictable
|
Otoriter
|
Predictable
|
Unpredictable
|
Demokratis
|
Ketidakpastian dalam perolehan suara
telah menandai suatu ciri berkembangnya kehidupan demokrasi dan karena itulah
dapat dikatakan bahwa konfigurasi politik di dalamnya menunjukkan ciri yang
demokratis. Sesuai dengan adagium mengenai jenis sistem politik yang berlaku
berdasarkan prosedur hukum dan hasil sebuah pemilihan umum, bahwa sebuah sistem
dikatakan totaliter manakala terdapat kondisi “predictable procedures and
predictable results”, yakni bila di sebuah negara, prosedur hukum
penyelenggaraan pemilihan umum sudah jelas ditentukan dan hasil pemilu sudah
dapat diketahui sebelum diselenggarakan, maka sistem itu disebut totaliter.
Sedangkan sebuah sistem dikategorikan otoriter jika terdapat kondisi “unpredictable
procedures, but predictable results”, yakni negara (dalam hal ini
pemerintahan daerah) dikatakan otoriter bila tidak memiliki prosedur yang jelas
tentang pemilu, akan tetapi hasil-hasil pemilu sudah dapat diketahui jauh-jauh
hari sebelum pemilu diselenggarakan. Dan manakala di sebuah negara terdapat
kondisi “predictable procedures, but unpredictable results”, di situlah
lazim disebut demokrasi, bahwa sebuah penyelenggaraan negara dikatakan menganut
system demokrasi bila tersedianya serangkaian pengaturan hukum pemilu yang
jelas, namun hasil pemilu tidak dapat diketahui sejak awal. Melalui indikator
tersebut, konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat tergambarkan
dengan ciri konfigurasi politik yang demokratis.
3. Eksistensi Pembangunan Berbasis Hak
Asasi Manusia dan Problematika Peraturan Daerah.
Pembangunan berbasis
HAM idealnya merupakan syarat yang terpenting bagi setiap program
pembangunan. Dari aspek rekam jejaknya, ide pembangunan berbasis HAM juga
lahirnya ragam inisiatif dan model pembangunan, mulai dari gagasan pembangunan
yang berkelanjutan, perumusan tujuan pembangunan milenium dan lain sebagainya.
Semua ide tersebut diintegrasikan dalam kebijakan dan diskursus tentang
pembangunan.
Masuknya hak asasi manusia dalam
dokumen perencanaan pembangunan mengikuti kecenderungan umum institusionalisasi
hak asasi manusia pasca 1998 yang sangat didominasi oleh institusionalisasi
yang bersifat legal formal. Gagasan institusionalisasi HAM ke dalam hukum
positif diaplikasikan melalui adopsi berbagai instrumen hukum HAM internasional
ke dalam ranah domestik melalui ratifikasi.
Di level pemerintahan daerah,
kesulitan dalam melakukan institusionalisasi HAM umumnya diakibatkan oleh
masalah kewenangan kepala daerah yang keberadaannya, lebih menonjol sebagai
alat pemerintah pusat dibanding sebagai alat pemerintah daerah. Sedangkan dalam
konteks kinerja legislasi DPRD, secara umum tingkat kesesuaian dengan prinsip
dan standar HAM masih jauh dari menggembirakan. Padahal di sisi lain, pada
dasarnya persoalan tersebut dapat saja diatasi dengan memahami persoalan mendasar
HAM khususnya menyangkut pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat di daerah
merupakan urusan yang layak untuk mendapat perhatian lebih dan merupakan
kebutuhan di daerah yang perlu untuk segera diwujudkan. Pada akhirnya, kondisi
di tingkat daerah yang demikian terbilang masih perlu perbaikan secara
mendalam. Sebagaimana temuan studi ini, cukup banyak faktor yang mengkondisikan
ketidakberpihakan pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat marjinal, mulai dari
problematika penegakan prinsip rule of law hingga tiadanya political
will pemerintahan daerah.
Di Provinsi Kalimantan Barat,
meskipun konfigurasi politik Pemerintahan Daerah-nya tergolong demokratis
ternyata masih sulit dan masih banyak menemui hambatan dalam mewujudkan
pembangunan berperspektif hak asasi manusia. Dalam tataran praksis senyatanya
belum mampu melahirkan peraturan daerah yang berpihak (responsif) terhadap
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Temuan
studi mengungkapkan dan menjelaskan, bebarapa faktor penyebabnya sebagai
berikut:
a.
Tidak adanya
kemauan politik—kalau tidak hendak dikatakan—telah melakukan pembiaran oleh
karena pola penyerapan aspirasi pada masyarakat marjinal yang terkendala oleh
beberapa hal. Pertama, penyerapan aspirasi lebih banyak dilakukan
terhadap masyarakat mayoritas yang tidak termasuk kelompok rentan atau
masyarakat marjinal, karena kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki akses
kepada pusat kekuasaan yang menyusun dan memutuskan kebijakan. Kedua,
sikap pragmatis legislator daerah yang lebih berorientasi pada masyarakat
mayoritas atau kawasan padat penduduk, baik dalam hal penyerapan aspirasi
maupun distribusi dana aspirasi. Agenda tersembunyinya, jelas karena kepedulian
pada masyarakat mayoritas lebih menjanjikan bagi perolehan suara pada pemilihan
umum berikutnya.
b.
Sifat
peraturan daerah masih sporadis, sebatas respons untuk mengatasi permasalahan
jangka pendek melalui peraturan daerah dan tidak dapat dikategorikan sebagai
program pembangunan peraturan daerah yang sistemik. Belum atau tidak ada
peraturan daerah yang diinstrumentasikan sebagai payung hukum pemberdayaan
kelompok masyarakat marjinal. Peraturan daerah masih sebatas
diinstrumentasikan untuk memperbesar PAD, sedangkan soal distribusi sumberdaya
pemenuhan hak-hak ekosob itu sendiri berjalan tanpa pengaturan. Agenda
pemberdayaan masyarakat marjinal yang ditegaskan dalam RPJMD tidak diikuti
dengan political will untuk segera merealisasikannya. Tidak ada
kebijakan pro poor yang benar-benar dilandasi skema pemenuhan hak-hak
ekosob masyarakat marjinal.
c.
Masih banyak
regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten antara yang satu dengan yang lain,
baik secara horizontal maupun secara vertikal. Selain itu, permasalahan yang
menonjol terkait problematika regulasi adalah:
1) Ketidakjelasan
pemegang otoritas manajemen regulasi. Otoritas tunggal untuk mengelola regulasi
seharusnya diberikan wewenang untuk menjaga kualitas regulasi di tingkat pusat
maupun peraturan daerah, misalnya kepada Kementerian Hukum dan HAM dengan
berdasarkan Pasal 23 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
2) Pemahaman
akan sistem regulasi nasional dan komunikasi regulasi antara pusat dan daerah
dalam praktik penyelenggaraan negara selama ini berjalan tidak
maksimal, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjebak pada ‘dunianya
sendiri’ sehingga masing-masing bekerja dan bertanggung jawab pada ruang
lingkupnya sendiri.
3) Perubahan
regulasi yang terlalu cepat di tingkat pusat mengakibatkan kesulitan tersendiri
bagi pemerintahan daerah, terlebih apabila regulasi pusat tersebut dibentuk
dengan kualitas yang memprihatinkan, dalam arti berpotensi konflik,
inkonsisten, multi tafsir serta tidak operasional.
4) Reformasi regulasi
dalam arti kesadaran baru untuk mewujudkan regulasi yang sederhana dan tertib
belum membudaya dan belum dimulai dengan tindakan yang benar-benar nyata meski
telah mendapat dukungan yang luas dari para penyelenggara negara baik pada
level pemerintahan pusat maupun daerah.
d.
Persepsi terhadap
hak-hak ekonomi sosial dan budaya yang rendah.
1) Sisi
Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD), pemenuhan hak ekosob pada praktiknya
belum dipahami secara baik meski Indonesia telah meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) sesuai dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005. Berbeda dengan hak sipil dan politik
(sipol), hak ekosob masih ditempatkan pada status sekunder oleh kalangan
pemerintahan daerah.
2) Sisi
Masyarakat, hampir tidak ada elemen masyarakat yang secara serius melakukan
upaya sadar untuk turut memengaruhi kebijakan negara dalam kaitannya dengan
pemajuan dan pemenuhan hak ekosob, terutama dalam lima aspeknya yang vital,
yaitu: hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan pekerjaan.
Kalaupun ada upaya-upaya pemantauan dan pengawasan itu pun belum bisa
dikategorikan sebagai watchdog yang sebenarnya.
e.
Masalah
pemerataan (equity) dan pemberdayaan (empowerment). Sesuai dengan
arah pembangunan hukum daerah, bahwa pada aras substansi pembangunan peraturan
daerah antara lainnya belum dilakukan melalui peningkatan kualitas materi
peraturan daerah yang transparan/adil melalui kaji ulang dan pengawasan
represif terhadap peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat
marjinal. Pada aras struktur belum dilakukan peningkatan kapasitas legal
drafting kepada aparatur pemerintahan berkaitan dengan pembuatan perda dan
peran legislasi, sedangkan pada aras budaya hukum belum dilakukan melalui
peningkatan peran serta masyarakat dalam suatu proses legislasi yang berdimensi
pembangunan berbasis HAM, khususnya hak-hak ekosob.
4. Diskursus Teoretik dan Model
Ideal Peraturan Daerah.
Tesis Mahfud MD yang
menyatakan, “konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum
yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan
produk hukum yang konservatif”, Penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan
tesis tersebut, sebab ternyata tesis Mahfud MD hanya terbukti untuk bidang
hukum tertentu saja, seperti hukum publik yang mengatur hubungan kekuasaan atau
hukum-hukum yang mengatur politik dan kekuasaan. Dengan demikian, hukum yang
berkarakter responsif tidak serta merta lahir ketika suatu konfigurasi politik
tergolong demokratis. Produk hukum berupa peraturan daerah yang mengatur
hak-hak ekosob yang kebanyakan merupakan pergulatan masyarakat marjinal,
konfigurasi politik demokratis tidak menjanjikan bagi lahirnya peraturan daerah
yang responsif terhadap hak-hak ekosob. Maka diperlukan model ideal membangun
peraturan daerah yang responsif.
Peraturan daerah seyogianya
berasaskan kemanfaatan umum. Bentham (1979:23) menulis bahwa ‘kebaikan publik’
hendaknya menjadi tujuan legislator. Hukum harus berbasis manfaat bagi
kebahagiaan manusia. Sesuai logika hukum responsif menurut Nonet dan Selznick,
indikator peraturan daerah yang memiliki keberpihakan atau responsif terhadap
hak-hak ekosob masyarakat marjinal adalah sebagaimana tampak pada tabel di
bawah:
Karakter Peraturan Daerah Responsif
|
Karakter Peraturan Daerah Konservatif
|
1. Pembuatannya Partisipatif dan berbasis HAM
|
1. Pembuatannya dominatif dan tidak berperspektif HAM
|
2. Muatannya aspiratif dan kontekstual
|
2. Muatannya instrumental - tekstual
|
3. Isinya implementatif dan protektif
|
3. Multitafsir dan pengabaian hak-hak ekosob
|
Model ideal membangun peraturan
daerah yang mengakomodasi hak-hak ekosob masyarakat marjinal harus bersendikan
pada paradigma pembangunan (hukum dan masyarakat) yang berbasis hak asasi
manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila. Paradigma pembangunan
berbasis hak asasi manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila hendaknya
menjadi tolok ukur perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan bahkan sosialisasi suatu peraturan daerah. Selain itu, idealnya
juga menjadi semacam kaidah penuntun karakterisasi peraturan daerah sebagai
sarana promotif, protektif dan implementatif bagi kepentingan masyakarat
daerah.
Secara
skematis model ideal membangun peraturan daerah yang berpihak pada pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang paralel dengan permasalahan masyarakat
Kalimantan Barat sebagaimana dapat digambarkan lewat ragaan berikut:
Dari model ideal di atas dapat
dilihat bahwa elemen terpenting dari suatu pembentukan peraturan daerah berada
di pundak masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dari situlah berangkat
ide-ide, gagasan, kepentingan, harapan dan kemauan agar apa yang hendak
diwujudkan dalam suatu peraturan daerah adalah mampu menjunjung tinggi hak
asasi manusia termasuk di dalamnya adalah hak-hak ekosob masyarakat marjinal.
Dalam konteks keberpihakan Peraturan
Daerah Kalimantan Barat bagi masyarakat marjinal sebagaimana menjadi fokus
studi ini, maka idealnya konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan
Barat yang terbilang demokratis dewasa ini harus mengutamakan konsepsi
pembangunan berbasis HAM dalam mereformasi dan menempatkan peraturan
daerah sesuai hakikatnya sebagai sarana respons terhadap kebutuhan masyarakat
daerah khususnya bagi masyarakat marjinal.
Dalam rangka membuat suatu Peraturan
Daerah yang berbasis HAM yang paralel dengan cita hukum Pancasila, khusus
terkait pemenuhan hak ekosob, selain harus mencermati model RIA, ROCCIPI dan
RHR, perlu juga diperhatikan prinsip Limburg dan Peraturan
Bersama Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2012 dan
No. 77 Tahun 2012 tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan
Produk Hukum Daerah. Berdasarkan prinsip Limburg dan Peraturan Bersama
tersebut setiap Peraturan Daerah yang bersentuhan dengan ruang lingkup hak ekosob:
(1) wajib mengatur dan menyediakan upaya penyelesaian yang efektif bagi warga
negara yang haknya dilanggar. Prinsip Limburg menegaskan negara tidak
boleh sekedar melihat hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat positif dan
(2) muatan peraturan daerah mengatur dan menyediakan jaminan tentang penyediaan
sumber daya yang tersedia secara maksimal dan langkah-langkah progresif yang
harus dilakukan oleh pemerintah. Anggapan mengenai non-justiciable dari
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas menyesatkan. Negara mempunyai
kewajiban yang mengandung efek segera (immediate effect), artinya
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dikualifikasi sebagai
“bukan merupakan hak yang sebenarnya” atau sekedar “pernyataan politik”. Sama
seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya dapat
dituntut pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable).
G. Penutup
1. Simpulan
Produk hukum yang berupa
peraturan daerah yang mengatur hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
kebanyakan merupakan pergulatan masyarakat marjinal, konfigurasi politik
Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang tergolong demokratis dewasa ini
tidak/belum mampu melahirkan peraturan daerah yang berpihak (responsif) pada
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat marjinal. Hal ini
disebabkan oleh: (1) konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat
yang demokratis tidak serta merta melahirkan peraturan daerah yang responsif
bagi pemenuhan hak-hak ekosob; (2) tidak adanya kemauan politik—kalau tidak
hendak dikatakan—telah melakukan pembiaran, karena pertama,
penyerapan aspirasi lebih banyak dilakukan terhadap masyarakat mayoritas, kedua,
sikap pragmatis legislator daerah yang lebih berorientasi pada masyarakat
mayoritas yang lebih menjanjikan bagi perolehan suara pada pemilihan umum
berikutnya; (3) sifat peraturan daerah masih sporadis, sebatas respons untuk
mengatasi permasalahan jangka pendek melalui peraturan daerah dan tidak dapat
dikategorikan sebagai program pembangunan peraturan daerah yang sistemik; (4)
masih banyak regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten antara yang satu
dengan yang lain, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menimbulkan
problematika regulasi; (5) persepsi terhadap hak ekosob yang rendah; dan (6)
masalah pemerataan (equity) dan pemberdayaan (empowerment).
Model ideal membangun peraturan
daerah yang mengakomodasi hak-hak ekosob masyarakat marjinal, maka
konfigurasi politik demokratis yang berparadigma pembangunan (hukum dan
masyarakat) berbasis hak asasi manusia yang paralel dengan cita hukum Pancasila
hendaknya menjadi payung berfikir dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan bahkan sosialisasi suatu peraturan daerah serta
menjadi semacam kaidah penuntun karakterisasi peraturan daerah yang responsif
sebagai sarana promotif, protektif dan implementatif bagi kepentingan
masyakarat daerah. Untuk mengimplementasikan kepentingan masyarakat daerah
dalam suatu regulasi (in case: hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat marjinal di Provinsi Kalimantan Barat), metode RIA (Regulatory
Impact Assesment), ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication,
interest, process, ideology) dan RHR (Respect to
Human Rights) tidak bisa dilepas-pisahkan dengan pembangunan
berbasis HAM yang paralel dengan cita hukum Pancasila.
2. Rekomendasi
Studi ini merekomendasikan
penambahan pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
khususnya yang mengatur tentang hak warga negara dalam mengajukan gugatan hukum
terhadap pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. Penambahan pasal dalam UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, perihal
parameter hak asasi manusia, khususnya terkait mekanisme pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.
Studi ini juga mengusulkan agar
Pemerintah Daerah dan DPRD Kalimantan Barat untuk segera membangun,
menginisiasi dan mempercepat lahirnya produk hukum berupa Peraturan Daerah
Kalimantan Barat yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat
marjinal sesuai dengan model ideal membangun peraturan daerah yang ditawarkan
dalam disertasi ini. Hal ini dimulai dengan pembuatan program legislasi daerah
(Prolegda) yang benar-benar dilaksanakan secara terencana, terpadu dan
sistematis, lengkap beserta analisisnya yang mendalam dan komprehensif sehingga
Prolegda tidak hanya sekedar berbentuk daftar judul atau list rancangan Perda
yang akan dibuat. []
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, 1999. Demokrasi diPersimpangan
Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2009. Konstitusi Dan
Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
-------, 2006. Perihal
Undang-Undang. Konstitusi Press, Jakarta.
------- dan Safa’at, M.Ali , 2006. Teori Hans
Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta.
Astawa, I Gde Pantja dan Na’a,
Suprin, 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni,
Bandung.
Asy’ari, Hasyim, 2007. Pilkada:
Catatan Hukum dan Politik, Diponegoro University Press, Semarang.
Bentham, Jeremy, The Theory of
Legislation, (N.M. Tripathi Private Limited, Bombay, 1979); alih bahasa
Nurhadi, MA. 2006. Penerbit Nusa Media & Nuansa, Jakarta.
Budiman N.P.D. Sinaga, 2005. Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan, UII Press, Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam, 1994. Demokrasi di
Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Campbell, Tom “Legal Positivism and
Deliberative Democracy”. In Campbell, Tom and Stone, Adrienne (Ed.), 2003. Law
and Democracy. Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited,
Burlington.
Clements, Kevin P., 1997. From
Right to Left in Development Theory (Terjemahan, Endi Haryono, Teori Pembangunan
Echols, John M. dan Hassan Shadily,
1994. Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Effendi, Masyhur, 2007. HAM dalam
Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik. Ghalia Indonesia, Bogor.
FAO (Food and Agriculture
Organization of the United Nations), 1999. The State of Food Insecurity
in the World 1999. FAO, Rome.
Friedman, Lawrence M., 2001.
American Law: An Introduction (Second Edition), terjemahan Wishnu Basuki, Hukum
Amerika: Sebuah Pengantar, PT. Tatanusa, Jakarta.
Fukuyama, Francis, 1995. Trust,
The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The Free Press, New
York.
Goesniadhie, Kusnu, 2006. Harmonisasi
Hukum dalam Perspektif Perundang-Undangan, JP Books, Surabaya.
Handoyo, Hestu Cipto, 2003. Hukum
Tata negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Hardiman, Budi, F., 2009. Demokrasi Deliberatif:
Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen
Habermas, Kanisius, Yogyakarta.
Hidayat, Arief, TT, Bernegara Itu
Tidak Mudah: Dalam Perspektif Hukum dan Politik, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang.
Huntington, Samuel P., 1977. Gelombang
Demokratisasi Ketiga. Grafitti, Jakarta.
Juanda, 2008. Hukum Pemerintahan
Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah,
Alumni, Bandung.
Kuhn, Thomas, 2000. The Structure
of Scientific Revolution (Terjemahan), PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Kementerian PPN/BAPPENAS, 2011. Kajian
Ringkas: Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA)
untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan), Kementerian
PPN/BAPPENAS, Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS.
LBH Jakarta, 2007. Bantuan Hukum:
Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan, LBH Jakarta, Jakarta.
Lexy, J. Moleong, 1996. Metode
Penelitian Kualitatif, PT. Rosda Karya, Bandung.
Lincoln, Y.S., 1994. Handbook of
Qualitative Research, Sage, London.
Direktorat Politik dan Komunikasi,
Laporan Kajian Akhir Tahun 2012. Peran Masyarakat Adat dalam Perumusan
Kebijakan Publik, Direktorat Politik dan Komunikasi Kementrian
PPN/Bappenas.
Mahfud MD, 2009. Konstitusi dan
Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta.
-------, 2012. Politik Hukum di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-6, Jakarta.
-------, 2007. Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
-------, 2006. Membangun Politik
Hukum, Menegakkan Konstitusi. LP3ES, Jakarta
Marzuki, Suparman, 2014. Politik
Hukum Hak Asasi Manusia, Erlangga, Surabaya.
Maria Farida Indrati Soeprapto,
1998. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta.
Manan, Bagir, 1992. Dasar-Dasar
Perundang-undangan Indonesia. IN-HILL-CO, Jakarta.
-------, 1994. Hubungan antara
Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Miles, Matthew B dan Michael
Huberman, 1992. Analisa Data Kualitatif, UI Press.
Mulya Lubis, Todung, 1986. Bantuan
Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Natonagoro, 1987. Pancasila
Secara Ilmiah Populer. Bina Aksara, Jakarta.
Nonet, Philippe & Selznick,
Philip , 1978. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law.
Harper and Row, New York.
--------, 2007. Hukum Responsif,
Penerbit Nusa Media, Yogyakarta.
Pratikno, 2003. “Desentralisasi,
Pilihan yang tidak Pernah Final”, dalam Jim Schiller (Edt.) Jalan Terjal
Reformasi Lokal, Dinamika Politik di Indonesia, Program Pascasarjana,
Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Program Studi Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1977. Pemanfaatan
Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
-------, 2000. Ilmu Hukum,
Citra Adtya, Bandung.
-------, 2003. Sisi-Sisi Lain
Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Rahayu, 2012. Hukum
Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Rawls, John, 1971. Theory of
Justice. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts
Ridwan, Juniarso dan Sudrajat,
Achmad Sodik 2010. Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, Bandung.
Rohman, Ainur dkk., 2012. Partisipasi
Warga Dalam Pembangunan dan Demokrasi. Aveeoes Press, Jakarta.
S. Lev, Daniel, 1990. Hukum Dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Safitri, Myrna A. and Rafael Edy
Bosco, 2002. Indigeous People/Ethnic Minorities and Poverty Reduction
Indonesia. Asian Development Bank, Manila.
Samekto, F.X. Adji, 2003. Studi
Hukum Kritis, Kritik Terhadap Hukum Modern. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
-------, 2015. Pergeseran
Pemikiran Hukum di Era Yunani Menuju Postmodernisme, Konstitusi Press,
Jakarta.
Sidharta, Bernard Arief , 2000. Refleksi
tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan
Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Simamarta, Rikardo, 2003. Pembaharuan
Hukum Daerah Menuju Pengembalian Hukum Kepada Rakyat. YBH Bantaya, Yayasan
Kemala dan HuMA, Jakarta.
--------, 2007. Socio-Legal
Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society
& Development, Volume I Desember.
Susanto, IS dan Bernard L. Tanya
(Penyunting), 2000. Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah
Menyambut 70 Tahun Satjpto Rahardjo, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suyanto, Bagong, 1995. Perangkap
Kemiskinan: Problem & Strategi Pengentasannya, Airlangga University
Press, Surabaya.
Tanya, Bernard L., Simanjuntak, Yoan
B. dan Hage, Markus Y., 2006. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi. KITA, Surabaya.
Turner, Jonathan H., 1982. The
Structure of Sociological Theory. The Dorsey Press, Homewood, Illinois.
WALHI Kalbar, 2014. Ekses
Monopoli Lahan oleh Perkebunan Skala Besar, WALHI, Kalimantan Barat.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995. Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik
dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990).
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-------, 2002. Hukum, Paradigma,
Metode dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal Kasim (Ed.). ELSAM dan HUMA,
Jakarta.
Wilardjo, Liek, 1990. Realita dan
Desiderata. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.
Wirjosoegito, Soenobo, 2004. Proses
dan Perencanaan Peraturan Perundangan. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Yusriyadi, 2009. Tebaran
Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat. Malang: Surya Pena Gemilang.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai-mana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social And Cultural
Rights (Konvenan internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sebagaimana telah diubah dan diganti dengan UU
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan
HAM dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 20 Tahun 2012 Nomor: 77 Tahun 2012
Tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Perpres Nomor 23 Tahun 2011 tentang
RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 selanjutnya telah diterbitkan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah yang selanjutnya
diganti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah dan sebagaimana telah diganti Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Kumpulan Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat, dari tahun 2000-2014
Internet
http://epistema.or.id/pengakuan-hak-masyarakat-adat-mandek-komnas-ham-bersiap-investigasi-menyeluruh/,
diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://www.huma.or.id/kasus-perebutan-lahan-atau-konflik-agraria,
diakses pada tanggal 10 Januari 2015.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama
Lengkap
|
:
|
Rahmad
Satria
|
Tempat/Tanggal
Lahir
|
:
|
Wajok
Hilir, 26 Oktober 1969
|
Agama
|
:
|
Islam
|
Pekerjaan
|
:
|
Ketua DPRD Kabupaten Mempawah
|
Status
Perkawinan
|
:
|
Menikah
|
Alamat
|
:
|
Jln. Raya
Wajok Hilir No. 31 Km. 13 Kec. Siantan Kab. Mempawah 78351
|
HP
|
:
|
0811561035
|
E mail
|
:
|
rahmadsatria69@gmail.com
|
Keluarga:
Istri dan Anak
1.
|
Hj. Erni Suherni, S.Pd.,M.Pd. (Isteri)/PNS Diknas
Kab. Mempawah
|
2.
|
Rizky Srikandi (Anak I)/Siswa MTs Negeri 1 Siantan
|
3.
|
Kurnia Srikandi (Anak II)/Siswa SDN 7 Siantan
|
4.
|
Tri Murghni Srikandi (Anak III)/TK- Jungkat
|
Pendidikan
Formal
1.
|
SD Negeri 07 Wajok Hilir (1977-1984)
|
2.
|
SMP Negeri 1 Jungkat (1984-1987)
|
3
|
SMA Negeri 5 Pontianak (1987-1990)
|
2.
|
S1 Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
(1990-1994)
|
3.
|
S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
(2001-2003)
|
Pendidikan/Pelatihan/Kursus
1.
|
Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka
Tahun 2005
|
2.
|
Kursus Mahir Lanjutan (KML)
Pramuka Tahun 2012
|
3.
|
Kursus Pelatih Dasar (KPD) Pramuka
Tahun 2014
|
4.
|
Kursus LEMHANAS Tahun 2008
|
5.
|
Diklat Legal Drafting Kementerian
Dalam Negeri RI
|
6.
|
Diklat Wasit Karate-KKI (1997)
|
7.
|
Diklat Bantuan Hukum Masyarakat
Miskin (1997)
|
8.
|
Diklat Wartawan-PWI RI Kalimantan
Barat Tahun 1999
|
9.
|
Diklat Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir dan Kelautan 2012
|
Pengalaman
Jabatan/Organisasi
1.
|
Pengacara Praktik (1995-2005)
|
2.
|
Kepala Desa Wajok Hilir
(1998-1999)
|
3.
|
Ketua Kecamatan Partai Golkar
Pontianak (1999)
|
4.
|
Ketua Komisi A DPRD Kab. Pontianak
(1999-2004)
|
5.
|
Ketua DPD Partai Golkar Kab.
Pontianak (2004-2009)
|
6.
|
Ketua DPD Partai Golkar Kab.
Mempawah (2009-2014)
|
7.
|
Ketua DPD Partai Golkar Kab.
Mempawah (2014-2019)
|
8.
|
Ketua DPRD Kab. Pontianak
(2004-2009)
|
9.
|
Ketua DPRD Kab. Pontianak
(2009-2014)
|
10.
|
Ketua DPRD Kab. Pontianak
(2014-2019)
|
11.
|
Ketua PSSI Kab. Mempawah (2015-2020)
|
12.
|
Ketua Kwartir Cabang Gerakan
Pramuka Kab. Mempawah (2006-2011) dan (2011-2016)
|
13.
|
Ketua DPC Pemuda Pancasila Kab.
Pontianak (2003-2008) dan (2008-2013)
|
14.
|
Ketua Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Islam Kab. Mempawah (2011-Sekarang)
|
15.
|
Ketua LBH Kosgoro Kalimantan Barat
(1997-2000)
|
16.
|
Ketua ORARI Cabang Mempawah
(2012-Sekarang)
|