Dr. H. Rahmad Satria, SH, MH |
Hal ini disampaikan Rahmad Satria kepada para wartawan di kediaman dinasnya, Rabu (5/4), menyangkut terpilihnya OSO, putra asli Kalimantan Barat asal Kabupaten Kayong Utara, sebagai pimpinan senator di Senayan, Jakarta, baru-baru ini. Ia optimis, OSO mampu memimpin DPD menjadi lembaga yang memiliki peran dan andil besar membangun bangsa di masa mendatang.
“Terutama menyangkut tupoksi DPD menyampaikan aspirasi berkaitan anggaran bisa tersalurkan dengan optimal. Karena, selama ini DPD belum punya kewenangan untuk pembentukan anggaran. Dengan kepemimpinan OSO, saya yakin kepentingan DPD bisa diperjuangkan,” katanya.
Nah menyangkut polemik terkait terpilihnya OSO yang sempat dianggap ilegal, dinilai Rahmad yang juga merupakan seorang akademisi, merupakan sesuatu yang tidak beralasan. Ia menilai proses terpilihnya OSO sudah sesuai aturan dan ketentuan tata tertib (tatib) DPD-RI.
“Kalau diluar sana ada pakar-pakar hukum yang mengatakan pemilihan Ketua DPD ilegal, maka saya membantah pernyataan tersebut. Tolong baca lagi tatib DPD dengan teliti. OSO terpilih sudah sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku,” tegas Rahmad Satria.
Berbicara soal tatib, menurut Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Mempawah itu, DPD memiliki tatib tersendiri untuk mengatur urusan ‘rumah tangganya’. Tatib tersebut disahkan dan disepakati bersama oleh seluruh anggota DPD melalui musyawarah. Konsekuensinya, seluruh anggota DPD harus patuh dan taat terhadap tatib yang telah disahkan.
“Kalaulah ada putusan atau fatwa dari MA yang menyatakan kepengurusan DPD menjabat selama 5 tahun, sedangkan dalam tatibnya 2,5 tahun maka semua pihak harus hormati tatib DPD. MA harusnya tidak boleh mengeluarkan suatu keputusan yang bertentangan dengan tatib DPD. Karena, tatib itu dirumuskan melalui musyawarah dan seluruh anggota DPD tunduk pada tatib,” ujarnya.
Ia lantas mencontohkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap lahirnya UU MD3 yang mengatur tentang mekanisme pemilihan Ketua DPR-RI. Dalam ketentuan tatib DPRD disepakati UU MD3 yang mengharuskan Ketua DPR-RI dipilih oleh anggotanya, sedangkan aturan UU sebelumnya partai politik pemenang pemilu yang secara otomatis menjadi Ketua DPR-RI.
“Ketika itu, MK menolak banding atas UU MD3. Karena, hal itu sudah menjadi urusan DPR-RI. Berbeda ditingkat daerah, aturan tentang penetapan Ketua DPRD baik kabupaten maupun kota tetap mengacu pada aturan sebelumnya yakni parpol pemenang secara otomatis akan menduduki kursi Ketua DPRD,” urainya.
Berdasarkan hal itu, sambung Rahmad Satria, maka proses pemilihan yang menetapkan OSO sebagai Ketua DPD-RI sudah benar sesuai dengan ketentuan tatib yang berlaku. Apalagi, terpilihnya OSO berlangsung secara aklamasi dari anggota DPD-RI.
“Kalau OSO menjabat dengan melanggar tatib, maka itu bisa dikatakan ilegal. Tapi ia terpilih sesuai prosedur dalam tatib, maka kebijakan tersebut sah secara hukum dan aturan yang berlaku,” tegasnya.
Terkait sejumlah pihak yang mempermasalahkan jabatan OSO sebagai Ketua DPP Partai Hanura, menurut Rahmad Satria, tidak ada satu pun pun pasal dalam tatib DPD yang melarang jabatan Ketua DPD dijabat oleh seorang ketua partai politik.
“Kalau Pemilu mendatang OSO mewakili parpolnya untuk mencalonkan diri, maka yang bersangkutan tidak boleh menjadi calon pada Pemilu 2019 mendatang. Tetapi itu berlaku pada Pemilu 2019 nanti, kalau untuk sekarang sah-sah saja. Silahkan baca lagi tatib DPD dengan teliti dan seksama,” ucapnya menyarankan.
0 comments:
Posting Komentar